Wahai istriku, sesungguhnya di kota Madinah ini sedang tersebar berita
tentang Ummul Mukminin Aisyah. Bagaimanakah pendapatmu tentang berita
itu ? "
Kalimat pertanyaan diatas adalah pertanyaan Abu Ayyub
kepada istrinya tentang haditsul ifki (berita bohong) yang sedang
menghangat di kota Madinah tentang Ummul Mukminin, Aisyah ra yang
dituduh berbuat serong dengan Shafwan bin Mu’atthal As-Sulami . Tuduhan
tersebut dilontarkan oleh kaum munafiqin yang dikepalai oleh Abdullah
bin Ubay bin Salul. Mereka adalah sebagian penduduk Madinah yang tidak
suka akan kehadiran kaum Muslimin yang berhijrah ke kota Madinah.
Peristiwa
ini berawal saat Aisyah ra tertinggal dari rombongan Rasulullah ketika
beliau kembali dari peperangan melawan bani Musthaliq. Aisyah yang
tertinggal dari rombongan, ditemukan oleh Shafwan yang bertugas berjalan
di belakang pasukan. Ketika Shafwan menemukan Aisyah yang sedang
terbaring berselimutkan jilbabnya, Shafwan berucap,“Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un! Istri Rasulullah?". Shafwan segera merendahkan untanya
lalu Aisyah ra menaikinya. Shafwan kemudian menuntun onta yang
ditunggangi Aisyah hingga Nahri ad-Dhahirah, tempat pasukan turun
istirahat. Melihat peristiwa ini, kaum munafiqin tidak mau kehilangan
kesempatan untuk menjatuhkan kehormatan keluarga Rasulullah dengan
mengeksploitasi peristiwa itu dan melontarkan tuduhan yang sangat keji.
Kaum
muslimin pada waktu itu terbagi dua dalam menanggapi kasus tersebut.
Ada yang yakin bahwa berita tersebut hanyalah fitnah orang-orang yang
tidak suka kepada keluarga Rasulullah saw., ada pula yang secara
langsung atau tidak langsung membenarkan berita tersebut lewat kata-kata
dan sikap mereka.
“Wahai istriku, sesungguhnya di kota Madinah
ini sedang tersebar berita tentang Ummul Mukminin Aisyah. Bagaimanakah
pendapatmu tentang berita itu ? "
Istri abu Ayyub berbalik bertanya,
“Wahai suamiku, andaikan engkau sebagai Shafwan, apakah engkau penting
dengan kejahatan yang dituduhkan kepada mahram Rasulullah saw? "
“Tidak !", jawab Abu Ayyub.
“Wahai
suamiku, jika aku sebagai Aisyah, maka aku tidak akan mengkhianati
Rasulullah. Aisyah jelas lebih baik dariku dan Shafyan jelas lebih baik
darimu".
Kesaksian ummu Ayyub merupakan buah dari kedalaman iman
sekaligus menunjukkan kecerdasan akal dan keselamatan pemikirannya.
Sebagai mana perintah Allah swt dalam;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا
تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 49:12)
1.
Menyadari bahwa sebagian dari prasangka adalah dosa. Dalam ayat di atas,
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari
prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka.
Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda
yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu
merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka
timbullah prasangkanya, apakah prasangka yang baik ataupun yang tidak
baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti
qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah
berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah prasangka yang
diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan
oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhus
Shalihin, 3/191).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari
mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk
terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak
berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’
li Ahkamil Qur`an,16/218)
2. Tidak mencari-cari kesalahan orang lain
(apalagi saudara sendiri) dan menggunjing mereka, hingga Allah
memisalkan perbuatan tersebut seperti memakan daging saudara sendiri.
3.
Jika kebetulan mendengar sesuatu hal yang belum teruji kebenarannya,
maka wajiblah bagi mendahulukan prasangka baik (husnudzon) sebelum
prasangka buruk (su’udzon),
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu
berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya
dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada
keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian
dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan
dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan
dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan
terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang
engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 7/291).
Prasangka baik inilah yang akan menjadikan hubungan
persaudaraan (ukhuwah) semakin erat dan melindungi dari penyakit hati
iri dan dengki terhadap saudara seiman. Ikatan persaudaraan yang
dilandasi oleh iman, yang terlindung dari gerogotan prasangka buruk dan
kedengkian inilah yang akan memperkokoh bangunan Islam. Sebagaimana
keluarga Ayyub menanggapi kabar angin yang berhembus di madinah kala
itu.
Referensi:
Sirah nabawiyah. Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, .
70 Tokoh Wanita dalam kehidupan Rasulullah. Ahmad Khalil Jam’ah
Home »
KISAH SALAF
» Menepis Kabar Angin
Menepis Kabar Angin
Written By Unknown on Saturday 23 August 2014 | Saturday, August 23, 2014
Labels:
KISAH SALAF
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !