Oleh: Firman Hidayat
A. MuqaddimahMemang tidak disangkal lagi bahwa pengaruh ajaran Hindu-Budha, agama yang memang sudah lama mengakar kuat di Nusantara sebelum datangnya Islam, masih terasa begitu kuat sehingga meski banyak orang mengaku sebagai muslim tapi keyakinan Hindu-Budhanya masih belum semuanya ditinggalkan, termasuk faham rengkarnasi. Maka tak heran jika ajaran tasawwuf ekstrime macam wihdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti menjadi sangat ‘laris’ di tengah masyarakat terutama setelah ‘diobral’ secara luas oleh ulama-ulama mereka seperti Hamzah Al Fanshuri (wafat 1607 M) & Syamsuddin As Sumatrani (di Aceh, Muhammad Yusuf Al Maqassari (1037-1111) di Makassar, Banten, Sailan, dan Srilangka, Muhammad Nafis Al Banjari (1148-…) di Banjar dan sekitarnya, dan masih banyak lagi.
Bahkan sampai hari ini paham wihdatul wujud ini masih saja mendapatkan perhatian di beberapa kalangan masyarakat berkat peran tokoh-tokohnya seperti penulis buku Bersatu dengan Allah.
Berikut adalah di antara usaha Syaikh Nuruddin Ar Raniri dalam memadamkan faham sesat yang menyimpang ini.
B. Biografi Ringkas
Ulama ini bernama Nuruddin Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji Al Hamidi [Al Qurasyi ?] Ar Raniri Asy Syafi’i rahimahullah. Lahir menjelang akhir abad ke-16 di Ranir (modern: Randir) Gujarat. Ayahnya berasal dari imigran Hadhramaut yang mempunyai tradisi berpindah ke Asia Selatan & Tenggara, sementara ibunya adalah seorang Melayu.
Awalnya Ar Raniri mendapatkan pendidikan di tempat kelahirannya, dan kemudian meneruskan ke Hadhramaut lalu ke Al Haramain. Di antara guru Ar-Raniri adalah Abu Hafsh ‘Umar Basyaiban Al Hadhrami (wafat 1066 H).
Setelah belajar sekian lama, tibalah saatnya Ar Raniri memulai karirnya. Ia kemudian memilih Negeri Melayu sebagai medan dakwah. Ar Raniri sudah sangat faham dengan dunia Melayu karena beberapa hal, yaitu ibunya adalah seorang Melayu yang kemungkinan banyak bercerita tentang tanah kelahirannya, keterlibatannya dengan komonitas Jawi di Makkah, dan pamannya, Muhammad Jailani bin Hasanji, yang sering kali pulang-balik ke Aceh banyak memberinya informasi.
Ar Raniri sudah berada di Nusantara sebelum th. 1047 H. Pertama-tama ia tidak menampakkan diri di Aceh karena situasi politik & keagamaan yang kurang memungkinkan yang dipegang seorang yang berpaham wihdatul wujud, Syamsuddin As Sumatrani. Apalagi di bawah kekuasaan Iskanadar Muda, raja Aceh saat itu, doktrin wihdatul wujud yang diajarkan Hamzah Al Fanshuri & Syamsuddin.
Setelah wafatnya Iskandar Muda & Syamsuddin, Ar-Raniri datang ke Aceh, 6 Muharram 1047, dan memulai perannya memberantas faham wihdatul wujud di sana. Ia kemudian langsung ditunjuk sebagai Qadhi & Maharaja Srimaharaja (1636-1641 M) di Aceh yang saat itu diperintah Sulthan Iskandar Tsani.
Ar Raniri kembali ke kota kelahirannya pada 1054, sebagaimana pengakuannya dalam Jawahirul ‘Ulum fi Kasyfil Ma’lum.
Syaikh Nuruddin Muhammad ‘Ali Hasanji Ar Raniri wafat pada Sabtu, 22 Dzul Hijjah 1068.
¤ Karya-karya Tulis Ar Raniri:
1. Ash-Shiratul Mustaqim fil Fiqhi Asy Syafi’i (Jalan Lurus Terkait Fikih Madzhab Syafi’i). Bisa diasumsikan bahwa buku ini adalah buku fikih dengan bahasa Melayu yang tertua di Nusantara. Buku inilah yang kemudian disyarah oleh Syaikh Muh. Arsyad Al Banjari rahimahullah dalam bukunya yang terkenal, Sabilul Muhtadin lit Tafaqquh fi Amrid Din.
2. Kaifiyatush Sholah (Tatacara Shalat)
3. Babun Nikah (Hukum-Hukum Terkait Nikah)
4. Bustanus Salathin fi Akhbaril Awwalin wal Akhirin (Taman Raja-Raja/ sebuah buku sejarah Islam di Aceh & sekitarnya)
5. Daurratul Faraid bi Syarhil ‘Aqaid
6. At-Tibyan fi Ma’rifatil Adyan (Keterangan Tentang Agama-Agama / perbandingan agama yang ditulis menurut Al Milal wan Nihal oleh Asy Syahrastani)
7. Hidayatul Habib fit Targhib wat Tarhib (Petunjuk Sang Kekasih [Rasulullah] Tentang Anjuran & Ancaman) atau judul lainnya Al Fawaid Al Bahiyyah fil Ahaditsin Nabawiyyah
8. Hujjatush Shiddiq fi Daf’iz Zinddiq (Argumen Orang yang Benar untuk Membantah Zindiq / bantahan buat wihdatul wujud)
9. Akhbarul Akhirah bi Ahwal Yamil Qiyamah (tentang Qiyamat)
10. Jawahirul ‘Ulum fi Kasyfil Ma’lum (fikih)
11. Al Im’an fi Takfir Man Qala bi Khalqil Quran (fatwa kafirnya orang yang berpendapat bahwa Al Quran adalah makhluk)
12. Shawarimush Shiddiq li Qath’iz Zinddiq (Pedang Tajamnya Orang yang Benar Untuk Memenggal Orang Zindiq / bantahan wihdatul Wujud Hamzah Al Fanshuri )
13. Bad’u Khalqis Samawat wal Ardh (Awal Penciptaan Langit & Bumi)
14. Lathaiful Asrar
15. Tanbihul ‘Awwam fi Tahqiqil Kalam (Perhatian Buat Orang Awwam dalam Mas-alah Shalat Sunnah)
16. Rahiqul Muhammadiyyah fi Thariqish Shufiyyah
17. Kisah Iskandar Dzul Qarnain
18. ‘Umdatul I’tiqad (‘aqidah)
19. Hilludh Dhill (Halalnya Darah Orang yang Sesat -kemungkinan besar bagi penganut faham wihdatul wujud)
20. Nubdzah fi Da’wahtidh Dhill (Sekelumit Cara Mendakwahi Orang yang Menyimpang)
21. Asrarul Insan fi Ma’rifatir Ruh war Rahman (Rahasia Manusia dalam Mengenal Roh & Rohman)
22. Fathul Mubin ‘alal Mulhidin (bantahan faham wihdatul wujud)
23. Syifaul Qulub (Penawar Hati)
24. Ma’unatul Hayat li Ahlil Mamat (Bantuan Orang Hidup Buat Orang Mati / tentang masa-lah hukum mentransfer pahala untuk mayit)
C. Jasanya dalam Memberantas Faham Wihdatul Wudjud [Manunggaling Kawulo Gusti]
Setelah mendapatkan pijakan kuat di istana Sulthan Aceh, Ar Raniri mulai melancarkan gagasannya. Menurutnya, Islam di wilayah ini telah dikacaukan kesalahpahaman atas doktrin shufi. Ar Raniri selama 7 th. di Aceh sebagai alim, mufti, dan penulis produktif yang mencurahkan banyak tenaga untuk menolak paham manunggaling kawulo gusti (wihdatul wujud). Bahkan beliau mengeluarkan fatwa yang mengarah semacam perburuan terhadap orang-orang sesat; membunuh orang-orang yang menolak melepaskan keyakinan & meninggalkan praktek-praktek sesat mereka, serta membakar seluruh buku mereka hingga menjadi abu.
Lebah jauh, Ar Raniri menantang penganut faham wihdatul wujud memperdebatkan mas-alah ini di istana Kasultanan di hadapan sulthan. Dalam beberapa kasus, perdebatan-perdebatan sangat sengit dan berlangsung selama beberapa hari.
Sulthan Iskandar Tsani berulangkali memerintahkan para panganut faham wihdatul wujud untuk merobah keyakinan mereka & bertobat, karena kesesatan mereka, namun sia-sia. Akhirnya, Sulthan memerintahkan agar mereka dibunuh & buku-buku mereka dibakar di depan masjid besar Banda Aceh, Baitur Rahman [Fathul Mubin].
Sejenak kita dengar cerita Syaikh Ar Raniri tentang mas-alah ini. Beliau berkata,
“…Dan lagi kata mereka itu, ‘alam huwa Allah, huwa al ‘alam, bahwa alam itu Allah dan Allah itu alam. Setelah sudah demikian itu, maka disuruh raja akan mereka itu membawa tobat daripada i’tiqad yang kufur itu. Maka dengan beberapa kali disuruh raja jua mereka itu membawa tobat, maka sekali-kali tiada ia mau bertaubat, hingga berperanglah mereka itu dengan penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja bunuh akan mereka itu, dan disuruhnya himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan masjid yang bernama Baitur Rahman. Maka disuruh oleh raja tunukan segala kitab itu.” [Fathul Mubin]
Dari cerita Ar Raniri ini dapat ditarik kesimpulan bagaimana proses dakwah yang beliau lancarkan bersama sang raja: pertama penganut faham wihdatul wujud disuruh bertaubat dan meninggalkan keyakinannya yang teramat sangat sesat itu, jika tidak mau maka ‘terpaksa’ raja harus membunuhnya sebagaimana orang yang murtad. Lihatlah, bagaimana kerjasama yang harmonis antara seorang ulama dan penguasanya dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Seorang ulama hanya sebatas menjelaskan sementara hukuman-hukuman seperti potong tangan dan bunuh diserahkan kepada raja, bukan ulama itu sendiri. Ini berbeda dengan kondisi dakwah sebagian kelompok dewasa ini. Sebagian mereka dengan semena-mena menghancurkan tempat-tampat maksiat dengan sekehendaknnya sendiri tanpa persetujuan pemerintah yang pada gilirannya keadaan malah tambah semakin kacau. Dan bisa dilihat hasil yang dari tindakan semacam ini, apa yang dirusak lebih banyak dari apa yang dibenahi.
Sungguh, Ar Raniri bukan pribadi yang mau kompromi dan toleransi terhadap kesesatan. Menurut pendirian kuatnya, faham semacam ini tiada lagi ada toleransi sedikit pun. Tidak ada hukuman yang lebih pantas dan pas bagi penganutnya kecuali dibunuh dalam keadaan kafir karena keyakinan yang mereka yakini itu lebih kufur daripada kayakinan Yahudi & Nasrani sekalipun.
Untuk bantahan luas atas faham sesat ini, selahkan merujuk kitab ‘Aqidah Ash Shufiyyah Wihdatul Wujud Al Khafiyyah karya Dr. Ahmad bin ‘Abdul ‘Aziz Al Qushayyir. Allahua’lam. []
D. Refrensi:
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: kencana Prenada Media Group
‘Abbas, Siradjuddin. 2011. Thabaqatus Syafi’iyyah Ulama Syafi’i dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru
Zaen, ‘Abdullah: 1429. 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah. Yogyakarta: Pustaka Muslim
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !