August 2014 - Nidaaul-haq
Headlines News :

.:: Syaikh Muhammad Baqir bin Muh. Nur Al Jugjawi Al Jawi Asy Syafi'i ::.

Written By Unknown on Saturday, 30 August 2014 | Saturday, August 30, 2014



Di antara sederet ulama Jawah yang mempunyai halaqah ilmu di Masjid Al Haram adalah Al 'Allamah Syaikh Muhammad Baqir bin Muhammad Nur bin Fadhil bin Ibrahim bin Ahmad Al Jugjawi Al Jawi Al Indunisi Asy Syafi'i kemudian Al Makki rahimahullah. Dilahirkan di kota gudeg, Yogyakarta, pada tahun 1305 H.

Di usianya yang masih tergolong sangat muda, Baqir Al Jugjawi sudah berani melawat ke Makkah dalam rangka
thalabul 'ilmi dari pembesar ulama saat itu. Di Makkah ia berguru, antara lain, kepada:
1. Syaikh Muhammad Mahfuzh bin 'Abdullah At Tirmisi
2. Al 'Allamah Syaikh Ahmad bin 'Abdullathif Al Khathib Al Minkabawi -imam, khathib, dan guru di Masjid Al Haram-
3. Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi
4. Sayyid Muhammad bin Salim As Sirri
5. Syaikh Ahmad Nahrawi Al Banyumasi Al Jawi
6. Sayyid 'Abdul Karim Ad Daghistani

Baqir Al Jugjawi juga banyak meriwayatkan dengan disertai ijazah dari sejumlah ulama ahli sanad semisal:
1. Al Qadhi Yusuf An Nabhani
2. Sayyid 'Abdul Hayy Al Katani
3. Abu Syu'aib Ash Shiddiqi
4. Muhammad Amin Ridhwan Al Madani
5. dan banyak lagi lainnya

Setelah dianggap mumpuni dalam keilmuan, Syaikh Baqir Al Jugjawi diperbolehkan untuk mengajarkan ilmunya kepada para santri. Mulailah beliau mengadakan halaqah ilmu sendiri di Masjid Al Haram dan rumahnya. Sejak itu, banyak dari kalangan penuntut ilmu yang mempelajari dari beliau sejumlah disiplin keilmuan seperti nahwu, sharaf, fiqih madzhab Syafi'i, ushul fikih. Beliau memiliki keahlian dalam bidang ilmu-ilmu itu.

Sebelum kewafatannya pada tahun 1363 H, Syaikh Baqir bin Muhammad Nur Al Jugjawi rahimahullah sempat menulis beberapa karya ilmiah, yaitu:
1. Tarajim Ulama Al Jawah -sebuah kitab besar yang berisi tentang biografi-biografi ulama-ulama Jawa (baca: Nusantara)
2. Sebuah tsabt / fihrisat (kumpulan riwayat-riwayatnya). Di sini beliau menyebutkan sanad-sanad & guru-gurunya dalam periwayatan, baik hadits maupun buku. Allahua'lam. []

Refrensi:
1. A'lamul Makkiyyin jilid ke-2 yang dinukil dari Tasyniful Asma' fil Ijazah was Sama', karya 'Abdullah Al Mu'allimi
2. Siyar wa Tarajim Ba'dh 'Ulamaina karya 'Umar 'Abdul Jabbar

Firman Hidayat, Gunung sempu

Fatwa Lajnah Daimah Tentag Buku Syekh Ali Hasan Al Halaby

Written By Unknown on Friday, 29 August 2014 | Friday, August 29, 2014



Lembaga tetap dalam berfatwa dengan pimpinan Syaikh yang mulia : Abdul Aziz Alus Syaikh Hafizhahullah Ta’ala
 الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده . . وبعد :

Sesungguhnya lembaga tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa telah menelaah apa yang ditujukan kepada mufti  yang mulia dari sebagian penasehat berupa beberapa permohonan fatwa yang terkait amanah umum bagi lembaga para ulama besar,nomor : 2928,2929, tanggal : 13-5-1421 H, dan nomor : 2929 dan tanggal 13-5- 1421 H, tentang keadaan dua buah kitab yang berjudul  “Ath-Tahdzir min fitnah at-takfir” dan “Shaihatu nadziir”, penyusun dua kitab tersebut: Ali Hasan Al-Halabi, bahwasanya kedua kitab itu mengajak kepada mazhab murji’ah, yang menyatakan bahwa amalan bukan syarat sahnya iman, lalu dia menisbatkan hal itu kepada Ahlus sunnah wal jama’ah. Dia menyandarkan dalam dua kitab ini pada penukilan-penukilan dari Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Al-Hafizh Ibnu Katsir dan yang lainnya -semoga Allah merahmati mereka semua-.

Karena kehendak para penasehat untuk menjelaskan kandungan yang terdapat didalam dua kitab ini agar para pembaca dapat mengetahui antara yang haq dan yang batil .dan seterusnya.

Setelah Lajnah mempelajari dua kitab tersebut, dan menelaah keduanya, maka jelaslah bagi lajnah bahwa kitab “At-tahdzir min fitnah at-takfir” tulisan Ali Hasan Al-Halabi pada apa yang dia sandarkan kepada ucapan para ulama dalam muqaddimah-nya dan catatan kakinya mengandung hal berikut:

Pertama : Penulisnya membangun kitab ini diatas mazhab murji’ah yang bid’ah lagi batil, yang membatasi kekafiran hanya pada kufur juhud (kufur pengingkaran) dan kufur takdzib (kufur karena mendustakan) dan istihlal qalbi (menghalalkan apa yang diharamkan dengan hatinya,pen), sebagaimana yang tersebut di hal:6, foot note ke:2, dan hal:22. Ini menyelisihi aqidah ahlus sunnah wal-jama’ah bahwa kekafiran bisa terjadi melalui ucapan, perbuatan, dan keragu- raguan.

Kedua : Merubah penukilan dari Ibnu Katsir rahimahullah Ta’ala dalam Al-Bidayah wan-nihayah: 13/118, dimana dia menyebutkan pada foot note-nya di halaman: 15 menukil dari Ibnu Katsir “bahwa Jengis khan mengklaim bahwa hukum “al-yasiq” berasal dari sisi Allah dan bahwa ini yang menjadi sebab kafirnya mereka (bangsa Tatar,pen)”. Tatkala merujuk ke sumber rujukan yang dimaksud tidak ditemukan apa yang dinisbatkannya kepada Ibnu Katsir –rahimahullah Ta’ala-.

Ketiga : Mengada-ada atas nama Syaikhul islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah Ta’ala- pada hal: 17- 18, dimana penyusun kitab tersebut menisbatkan kepada Beliau “bahwa hukum yang diganti tidak menunjukkan kekafiran menurut Syaikhul Islam kecuali jika disertai pengetahuan dan keyakinan hati, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang halal. Ini semata-mata mengada-ada atas nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah Ta’ala- sebab Beliau (syaikhul islam,pen) adalah penyebar mazhab salaf Ahlus sunnah waljama’ah dan prinsip mereka, sebagaimana yang telah disebutkan, sedangkan ini hanyalah merupakan mazhab murji’ah.

Keempat : Merubah maksud perkataan Allamah yang mulia: syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah Ta’ala dalam risalahnya yang berjudul “Tahkiim al-qawaaniin al-wadh’iyyah”. Dimana penyusun buku tersebut menyatakan bahwa Syaikh mensyaratkan penghalalan dalam hatinya, padahal ucapan Syaikh sangat jelas seperti jelasnya matahari dalam risalah tersebut diatas aqidah ahlus sunnah wal-jama’ah.

Kelima : Memberi komentar terhadap ucapan para ulama yang dia sebutkan dengan membawa ucapan mereka kepada sesuatu yang bukan maknanya,seperti yang terdapat di halaman: 108, foot note:1, hal:109 foot note:21, hal:110 foot note:2.

Keenam : Sebagaimana didalam kitab ini juga menampakan sikap meremehkan permasalahan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, khususnya pada halaman: 5 foot note:1, dengan alasan bahwa perhatian untuk memurnikan tauhid dalam permasalahan ini menyerupai Syi’ah Rafidhah, dan ini merupakan kesalahan fatal.

Ketujuh : Menelaah risalah yang kedua dengan judul “Shaihatu nadziir”, maka ditemukan bahwa kitab ini bersandar kepada kitab yang telah disebutkan, dan keadaan keduanya sebagaimana yang telah disebutkan.
 
Maka sesungguhnya Lajnah Daaimah melihat bahwa kedua kitab ini: tidak boleh dicetak, tidak boleh disebarkan, dan tidak boleh diedarkan disebabkan karena pada keduanya terdapat kebatilan dan perubahan makna, dan kami menasehati penulis kedua kitab tersebut untuk bertaqwa kepada Allah pada dirinya dan pada kaum muslimin, terkhusus para pemuda mereka, dan hendaknya bersungguh- sungguh dalam memperoleh ilmu syar’I melalui tangan para ulama yang dipercaya ilmunya dan baik aqidahnya. Sebab ilmu merupakan amanah dan tidak boleh disebarkan kecuali yang sesuai dengan al-kitab dan as-sunnah.

Hendaknya dia meninggalkan berbagai pemikiran ini dan cara-cara penipuan dalam merubah makna ucapan para ulama, sebagaimana yang diketahui bahwa kembali kepada kebenaran merupakan keutamaan dan kemuliaan bagi seorang muslim. Semoga Allah memberi taufik.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .


Lajnah Daaimah untuk pembahasan ilmiah dan fatwa

Pimpinan:Abdul Aziz bin Abdillah bin Muhammad Alus Syaikh
Anggota:Saleh bin Fauzan Al-Fauzan
Anggota:Bakr bin Abdillah Abu Zaid
Anggota:Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyaan


Adab Bertanu dan Meminta Izin



Sebuah faedah yg saya dapatkan dari penjelajan kitab Riyadhussholihin , karya Imam Nawawi -rahimahullah- tadi ba'dha dhuhur di pendopo ma'had Hamalatul Quran ,Jogjakarta, bersama ustadz Aris Munandar -hafidzhohulla ta'ala-

Adab bertamu dan cara meminta izin yg benar

Dari Sahl bin Sa'ad -radhiyallahuanhu- ia berkata : Rasulullah bersabda:
إِنَّمَاجُعِلَ اْلاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

FAEDAH :
1. Nabi -shallallahualaihiwasallam menjelaskan, bahwa tujuan disyariatkannya meminta izin sebelum bertamu adalah agar tidak terlihat hal-hal yang tidak berkenan untuk dilihat, dan menghindari dari pemandangan2 yg tidak pantas dilihat.
Karena rumah itu ibarat penutup aurat kita sebagaimana pakaian penutup aurat bagi tubuh, jika seorang tamu meminta izin terlebih dahulu kepada tuan rumah sebelum masuk rumahnya, maka hal ini akan memberi kesempatan kepadaa tuan rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumah,
merapikan rumahnya dan menghindarkan dari pemandangan2 yg kurang baik jika dipandang.

2. Adalah tindakan yang kurang baik, jika seorang bertamu kemudian dia mengucapkan salam sambil ngintap-ngintip ataucelingak-celinguk sana- sini.
Bahkan dalam hal ini ada ancaman yang keras dari Nabi ,
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang menengok atau melihat ke dlm rumahmu tanpa izin darimu, lalu anda melemparnya dgn batu kerikil hingga tercungkil matanya, maka tak ada dosa bagi kamu”. (HR. Al-Bukhari & Muslim)

3. Diantara adab bertamu ; saat ia bertamu hendaknya dia tidak berdiri tepat di depan pintu rumah, namun ia berdiri di samping kiri atau kanan pintu rumah, hal ini untuk menghindari pandangan ke dalam isi rumah, karena dia belum punya hak untuk melihat isi rumah

CARA MEMINTA IZIN YG BENAR

Diantara adab bertamu adalah mengucapkan salam kemudian dia meminta izin untuk masuk, jika telah diizinkan untuk masuk, maka boleh baginya untuk masuk.

Dalilnya adalah sebuah hadits dari sahabat Rabi'iy bin Harits, ia berkata :
"salah seorang shahabat beliau dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan: “Bolehkah saya masuk?”
Maka Rasulullah pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya:
اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الاسْتِئْذَانَ ، فَقُلْ لَهُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ ؟
“Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu ‘alaikum, bolehklah saya masuk?
Sabda Rasulullah tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟
Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau. (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits di atas dijelaskan, bagaimana cara meminta izin yang baik, yaitu mengucapkan salam terlebih dahulu, baru setelah itu kita meminta izin untuk masuk.

Namun ada beberapa keadaan yang boleh bagi seseorang untuk masuk rumah ,tanpa harus meminta izin terlebih dahulu, yaitu
1. Ketika hendak masuk rumah sendiri.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat.” (An-Nur: 27)

2. Ketika memenuhi undangan, karena undangan itu sendiri sudah termasuk memberi izin.

Anshori, Gunungsempu, Bantul. 25 September 2012

Bersyukur jalan para Nabi (Khtbah Jumat)



Khutbah Pertama:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدَ الشَّاكِرِيْنَ ، وَأُثْنِي عَلَيْهِ سُبْحَانَهُ ثَنَاءَ الذَّاكِرِيْنَ المُخْبِتِيْنَ ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى أَفْضَالِهِ العَظِيْمَةِ، وَأَشْكُرُهُ جَلَّ وَعَلَا عَلَى نِعَمِهِ الكَرِيْمَةِ ، أَحْمَدُهُ جَلَّ وَعَلَا عَلَى نِعَمِهِ الكُثَارِ وَآلَائِهِ الغِزَارِ وَعَطَائِهِ المِدْرَارِ ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْهِ هُوَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كَمَا أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِمَامَ الشَّاكِرِيْنَ وَقُدْوَةِ المُوَحِّدِيْنَ وَأَفْضَلُ مَنْ قَامَ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِالشُّكْرِ وَالذِّكْرِ ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنِ اتَّبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ .

أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ : أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ ؛ فَإِنَّ تَقْوَى اللهِ جَلَّ وَعَلَا هِيَ سَبِيْلُ الفَلَاحِ وَالْفَوْزُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، وَأَسْأَلُ اللهَ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنَ المُتَّقِيْنَ
  .
I’lamu rahimakumullah,
Sesungguhnya keutamaan dan keagungan syukur adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi. Syukur kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala atas nikmat dan anugerahnya yang terus-menerus adalah sesuatu yang Dia perintahkan, sebagaimana dijelaskan di dalam Alquran. Dan Allah melarang kita untuk mengkufuri nikmat-Nya.
Allah Tabaraka wa Ta’ala memuji orang-orang yang bersyukur dan memberikan keistimewaan bagi mereka. Dia juga menjanjikan balasan yang lebih baik, kenikmatan yang kian bertambah, dan menjaga nikmat-nikmat yang telah Dia berikan. Banyak ayat-ayat yang memerintahkan agar kita bersyukur. Mengapa? Karena Allah sayang kepada kita. Dia ingin agar kita mendapatkan kebaikan yang banyak karena melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,

 وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahl: 114).
Firman-Nya yang lain,

وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (QS. Al-Baqarah: 152).
Firman-Nya juga,

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 17).

Allah Ta’ala menggandengkan syukur dengan keimanan dan Allah juga mengabarkan tidak akan mengadzab hamba-hamba-Nya selama mereka bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7).
Ibadallah,
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi keadaan manusia menjadi dua golongan: orang yang bersyukur dan orang yang kufur. Dia membenci segala sesuatu terkait kekufuran dan mencintai segala sesuatu terkait rasa syukur. Tentang keadaan manusia ini, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insan: 3).
Dia juga berfirman,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu…” (QS. Az-Zumar: 7).
Firman-Nya yang lain,
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Luqman: 12).
Firman-Nya yang lain,
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS. An-Naml: 40).
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa musuh Allah, iblis, memiliki tujuan tertinggi yaitu menjadikan manusia sebagai hamba yang tidak bersyukur. Hal itu lantaran mereka mengetahui betapa pentingnya kedudukan syukur dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’rah: 17).
Dan Allah juga mengabarkan bahwa sedikit sekali hamba-hamba-Nya yang bersyukur:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُور
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (berterima kasih).” (QS. Saba’: 13).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
“Akan tetapi kebanyak manusia tidak bersyukur.” (QS. Yusuf: 38).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa tujuan pokok diciptakan berbagai keberagaman yang ada sebagai anugerah dari-Nya agar kita menjadi orang-orang yang bersyukur. Dia berfirman,
﴿ وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78).
Dia juga berfirman,
وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashas: 73).
Firman-Nya yang lain,
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang serupa dengan ayat-ayat di atas.
Ibadallah,
Syukur adalah jalan hidupnya para nabi, orang-orang istimewa dari kalangan orang-orang yang dekat dengan-Nya. Allah Ta’ala telah memuji Nuh, Rasul pertama yang Dia utus, dengan firman-Nya,

ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
“(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra: 3).

Allah sebut “anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh” karena seluruh para Nabi adalah keturunan Nabi Nuh. Nabi Nuh adalah bapak manusia yang kedua, setelah Nabi Adam. Karena saat terjadi banjir di zaman Nabi Nuh, tidak tersisa keturunan manusia manapun keculi dari keturunan Nabi Nuh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِي
“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (QS. Ash-Shaffat: 77).

Dan Allah memerintahkan anak keturunannya untuk meneladani bapak mereka. Karena ia adalah seorang hamba yang bersyukur.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memuji kekasih-Nya Ibrahim sebagai hamba yang bersyukur atas nikmat-Nya:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (120) شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121).

Allah menjadikannya sebagai teladan profil dalam kebaikan, sebagai seorang hamba yang senantiasa menaati kepada Allah, dan seorang yang hanif, yaitu mentauhidkan Allah dan mengkufuri selain-Nya. Dan Allah tutup ayat ini dengan sifat beliau sebagai seorang yang bersyukur. Allah menjadikan syukur sebagai puncaknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam untuk bersyukur atas kenikmatan nubuwah, risalah, dan diberi kesempatan berdialog dengan Allah. Allah Ta’ala berfirman,

يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Allah berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al-A’ra: 144).

Masih banyak ayat lain yang menjelaskan bahwa syukur adalah jalan hidup para nabi ‘alaihimussalam.
Adapun syukur yang dipraktikkan oleh penghulu anak Adam dan penutup para nabi, Muhammad bin Abdullah ‘alaihi afdhalu ash-shalatu wa azka at-taslim, adalah sesuatu yang luas. Ia adalah hamba Allah yang mengetahui hal ini, paling takut kepada Allah, dan paling bersyukur kepada-Nya. Dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَرَّمَتْ قَدَمَاهُ فَقِيلَ لَهُ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ ، قَالَ : أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri shalat hingga kaki beliau pecah. Lalu dikatakan, ‘Allah telah mengampuni kesalahan Anda yang telah lalu dan yang akan datang’. Beliau menjawab, ‘Tidakkah pantas aku menjadi hamba yang bersyukur’.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا
“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling mengenal Allah.” (HR. Bukhari).
Semoga shalawat dan salam semoga tercurah kepada beliau.
Ibadallah,
Hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan oleh pemberi nikmat, pengakuan berupa ketundukan, merendahkan diri, dan mencintainya. Barangsiapa yang tidak mengetahui kenikmatan adalah sebuah kenikmatan, maka dia tidaklah dikatakan bersyukur. Dan orang yang mengetahui kenikmatan tapi ia tidak mengetahui sang pemberi nikmat, ia juga tidak dikatakan sebagai orang yang bersyukur. Demikian juga orang yang mengetahui kenikmatan, lalu ia mengetahui pula sang pemberi nikmat, namun ia membantahnya dengan melakukan kemungkaran, maka orang ini telah mengkufuri nikmat tersebut. Sama halnya dengan orang yang mengetahui kenikmatan dan yang memberikan nikmat, ia mengakui keduanya, tidak membantahnya, akan tetapi tidak mencintai sang pemberi dan patuh padanya, orang ini juga tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bersyukur. Orang yang bersyukur adalah mereka yang mengenal kenikmatan dan yang memberinya, tunduk patuh, ridha, mencintainya, dan menggunakan kenikmatan tersebut pada sesuatu yang dicintai serta untuk menaati sang pemberi nikmat. Inilah orang yang bersyukur.
Dengan demikian syukur itu terdiri dari 5 prinsip: (1) Ketundukan orang yang bersyukur kepada yang member, (2) mencintai sang pemberi, (3) mengakui nikmatnya, (4) memuji sang pemberi atas nikmat tersebut, dan (5) tidak menggunakan kenikmatan tersebut pada sesuatu yang dibenci oleh yang memberi. Inilah lima komponen asas syukur. Apabila salah satu dari lima hal ini hilang, maka rusaklah bangunan syukur tersebut.
Rasa syukur dan lima unsurnya ini terdapat di hati dan amalan anggota badan. Hati yang tunduk dan tenang dalam mencintainya. Lisan yang mengakuinya dengan mengucapkan pujian. Dan anggota badan merealisasikan ketaatan kepadanya.
Ibnu Abi Dunya rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya asy-Syukru bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Abu Hazim Salamah bin Dinar, “Bagaimana bentuk syukur dari kedua mata wahai Abu Hazim”? Salamah bin Dinar menjawab, “Apabila dengan keduanya engkau melihat yang baik, engkau ceritakan kebaikan itu. Dan apabila dengan keduanya engkau melihat yang jelek, maka engkau rahasiakan kejelakan tersebut.
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kedua telinga”? Dijawab, “Jika dengan keduanya engkau mendengarkan yang baik-baik, maka engkau terima. Jika dengan keduanya engkau mendengar kejelekan (maksiat), maka engkau tolak”.
Ia bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kedua tangan”? Salamah bin Dinar menjawab, “Jangan engkau gunakan keduanya untuk sesuatu yang bukan menjadi tujuan ia diberikan dan jangan engkau menolak hak Allah pada keduanya”.
Ia bertanya lagi, “Bagaimana bersyukurnya perut”? Dijawab, “Engkau jadikan bagian bawahnya makanan dan bagian atasnya ilmu”. Ia kembali bertanya, “Bagaimana bersyukurnya kemaluan”? Salamah bin Dinar menjawabnya dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mukminun: 5-7).

Adapun orang yang bersyukur dengan lisannya namun tidak dengan seluruh anggota badannya, ia bagaikan seorang yang memiliki kain. Ia gunakan ujung kain itu, akan tetapi ia tidak memakainya. Kain itu tidak bermanfaat baginya di saat panas maupun dingin, saat hujan dan bersalju.
Ibdallah,
Sesungguhnya bersyukur kepada Allah itu wajib bagi setiap muslim dan mukmin. Dan hal ini menjadi sebab langgengnya kenikmatan. Sebaliknya saat rasa syukur itu tidak ada, maka kenikmatan pun akan hilang.
Syukur adalah pengikat kenikmatan dan pemburunya tatkala ia masih belum didapat. Mengkufurinya adalah sebab hilangnya kenikmatan itu. Orang-orang shaleh menyebut syukur adalah penjaga karena ia menjaga kenikmatan yang sudah ada. Mereka juga menamainya dengan pembawa karena lantaran syukur kenikmatan yang belum datang pun akan terbawa. Kenikmatan itu apabila disyukuri, maka ia akan tetap, dan apabila dikufuri ia akan berlari.
Semoga Allah Jalla wa ‘Ala menganugerahkan saya dan Anda sekalian sifat syukur dan melindungi kita dari tabiat kufur terhadap kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permintaan.
أَقُوْلُ هَذَا القَوْلِ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ وَاسِعِ الفَضْلِ وَالجُوْدِ وَالاِمْتِنَانِ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلدَّاعِيَ إِلَى رِضْوِانِهِ ؛ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَعْوَانِهِ .
أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى
Ibadallah,
Ketahuilah bahwa syukur memiliki tiga rukun yang penting. Seseorang hamba tidak akan disebut sebagai orang yang bersyukur kecuali dengan adanya ketiga hal ini:
Pertama: mengakui dengan hati atas kenikmatan yang Allah berikan. Dan meyakini bahwa nikmat tersebut adalah wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Kedua: mengucapkan dengan lisan. Orang yang mendapatkan kenikmatan ia harus memuji Allah, bersyukur kepada-Nya dengan lisannya, dan tidak boleh menisbatkan kenikmatan itu kepada selain Allah, sehingga tidak termasuk seperti orang yang Allah firmankan,
يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya…” (QS. An-Nahl: 83).
Ketiga: menggunakan kenikmatan ini sebagai alat bantu dalam menaati Allah dan menggapai ridha-Nya. Jika kenikmatan itu digunakan dalam kemaksiatan, maka ia telah mengkufuri nikmat Allah kepadanya. Orang yang kuat badannya, sehat, dan memiliki harta, lalu ia gunakan untuk memaksiati Allah, ia telah mengkufuri nikmat Allah tersebut. Orang yang melakukan demikian, maka ia layak untuk mendapatkan hukuman.
Semoga Allah menganugerahkan kita syukur akan kenikmatan dan menolong kita untuk mengingat-Nya, mensyukuri-Nya, dan memperbagus ibadah kita kepada-Nya.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ:  إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً [الأحزاب:56] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا)), وَقَالَ عَلَيْهِ الصَلَاةُ وَالسَلَامُ : ((رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ)) ، وَلِهَذَا فَإِنَّ مِنَ البُخْلِ عَدَمُ الصَّلَاةِ وَالسَلَامِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ عِنْدَ ذِكْرِهِ صلى الله عليه وسلم .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةِ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وُلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ وَأَعِنْهُ عَلَى الْبِرِّ وَالتَقْوَى ، وَسَدِدْهُ فِي أَقْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ . اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةِ نَبِيِّكَ محمد صلى الله عليه وسلم .
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ ؛ دِقَّهُ وَجِلَّهُ ، أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ، سِرَّهُ وَعَلَنَهُ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا إِنَّا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ : اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
   .
Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad

Sponsor

Popular Posts

free counters

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nidaaul-haq - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger