July 2012 - Nidaaul-haq
Headlines News :

MAKAN DAN MINUM KETIKA MENDENGAR ADZAN SUBUH PADA BULAN RAMADHAN

Written By Unknown on Monday, 30 July 2012 | Monday, July 30, 2012


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada orang yang mendengar adzan Subuh tapi dia tetap makan dan minum. Bagaimana hukum puasanya ?

Jawaban
Seorang mukmin wajib menahan dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum dan lain-lain) apabila fajar benar-benar telah terbit. Terutama apabila puasa tersebut hukumnya wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa kifarat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

Artinya : Makan dan minumlah kalian sampai terlihat jelas oleh kalian garis putih dari garis hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai malan (maghrib) [Al-Baqarah : 187]

Apabila seseorang mendengar adzan dan dia yakin adzannya tersebut berpatokan terbitnya fajar (masuk waktu), maka dia wajib menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa. Tapi apabila adzan tersebut dikumandangkan sebelum terbit fajar, kita masih boleh makan dan minum sampai fajar benar-benar terbit.

Apabila kita tidak tahu apakah itu adzan sebelum terbit fajar atau setelahnya, maka lebih baik kita berhati-hati dan menahan diri dari makan dan minum. Tidak mengapa kalau menghabiskan makan dan minum ketika sudah terdengar adzan, karena dia tidak tahu terbitnya fajar.

Sebagaimana kita ketahui bahwa apabila kita tinggal di dalam kota yang penuh dengan cahaya lampu listrik, kita tidak bisa melihat terbitnya fajar dengan mata kita. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dengan cara memperhatikan adzan dan melihat kalender yang disitu terdapat jadwal waktu terbit fajar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ˜alaihi wa sallam.

Artinya : Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu dan kerjakanlah sesuatu yang tidak meragukan [Hadits Riwayat Tirmidzi 2442 dan An-Nasaai 5615]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

Artinya : Barangsiapa yang menjauhi perkara syubhat (yang meragukan), berarti dia telah memelihara agama dan kehormatannya†[Hadits Riwayat Bukhari 50]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Penolong

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan Solo]

SEBUAH PELAJARAN PENTING UNTUK UMMAT BAG 2

Written By Unknown on Sunday, 29 July 2012 | Sunday, July 29, 2012


 Oleh:Ibnu Marwadi Al-Marwadi Al-Andalasi -'afalloh 'anh-

:: Syarat-Syarat Kalimat Agung 'Laa ilaaha illallaah' ::

"Adapun syarat-syarat 'laa ilaaha illallaah' adalah sebagai berikut:
1. Ilmu, yaitu mengetahui makna kandungannya; dari yang menafikannya dan yang menetapkannya. Allah berfirman, "Ketahulah bahwa Dia tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah." [QS Muhammad: 19]. "Kecuali orang yang bersaksi dengan alhaq (baca: laa ilaaha illallaah) sedangkan mereka mengetahui (dengan hati mereka tentang apa yang mereka persaksikan dengan lisan-lisan mereka. pent.)" [QS az-Zukhruf: 86]
Rasululloh bersabda, "Siapa yang wafat sedangkan dia mengetahui bahwa Dia tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah, masuk surga." [HR Imam Muslim dari 'Ustman bin 'Affan]
Dan banyak manusia dewasa ini mengucapkan syahadah ini dengan lisannya sedangkan mereka tidak mengetahui sedikit pun dari maknanya. Oleh karena itu, mereka terjerumus kepada lubang kesyirikan padahal dia mengucapkan syahadat ini. Padahal orang-orang musyrik di zaman Nabi saja mengetahui maknanya dan konsekuensinya. Mereka berkata, "Apakah mereka menjadikan tuhan-tuhan (berhala) itu Tuhan yang satu? Sungguh ini adalah sesuatu yang mengherankan." [QS Shod: 5]

2. Yaqin, yaitu diharuskan orang yang mengucapkannya merasa yaqin dengan konsekuensi kalimat ini. Karena itu apabila dalam hatinya merasa ragu dan tidak yakin, maka tidak akan bermanfaat baginya.
Allah berfirman dalam mensifati orang-orang mukmin, "Orang-orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya kemudian mereka tidak merasa ragu." [QS al-Hujarat: 15].
Adapun orang-orang yang ragu, maka dialah munafiq. Lihat: QS at-Taubah: 45. Padahal siksaan bagi munafik itu adalah Neraka yang pualing bawah. Lihat: QS an-Nisa': 145. Dan boleh jadi siksanya lebih dahsyat dibanding siksaan kaum kuffar. Wal'iyadzubillah. Nas-alullah as-salaamah.
Dari Abu Hurairah, Rosululloh bersabda, "Aku bersaksi bahwa tidak ada ilaah yang berhak diibadahi selain Allah dan Aku adalah utusan Allah. Tidaklah seseorang berjumpa dengan Allah dan dengan keduanya (dua syahadat) tidak ragu dengannya, kecuali dia pasti masuk Surga." [HR Muslim]

3. Ikhlas yang menafikan syirik. Kalimat ini tidak akan berguna bagi pengucapnya tanpa disertai dengan ikhlas. Allah berfirman, "Padahal mereka tidaklah diperintah kecuai hanya untuk menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama..." [QS al-Bayyinah: 5]
Rosululloh bersabda, "Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan 'laa ilaaha illallaah' dengan ikhlas dari hati atau jiwanya." [HR Imam al-Bukhori]

4. Cinta yang menafikan kebencian. Maka kalimat ini harus dicintai, apa yang dikandung, ahlinya dan yang mengamalkan konesuensinya. Lihat: QS Albaqarah: 165 & Almaidah: 54.
Allohua'lam.
Bersambung, insyaAllah ke syarat yang ke-6, 7, & 8.

[Penulis ambil dari:
1. Alquran al-Karim dan Terjemahnya
2. Hasyiyah ad-Durusil Muhimmah li 'Ammatil Ummah lil 'Allamah 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz rohimahulloh hal. 50-52 karya Syaikh Dr. Ahmad bin Sholih bin Ibrohim Ath-Thuyan. KSA: Dar Thuwaiq Lin Nasyr wat Tauzi' cet. ke-6 1431 H/ 2010 M dengan sedikit tambahan dan perubahan
3. Pelajaran-pelajaran yang penulis terima dari guru-guru penulis.
4 . Dll.]

Sleman, 08:02 Ahad 9 Ramadhan 1433 H

SEBUAH PELAJARAN PENTING UNTUK UMMAT BAG 1

Written By Unknown on Saturday, 28 July 2012 | Saturday, July 28, 2012


Oleh: Ibnu Marwadi Al-Marwadi 'afallah 'anhu ( firman hidayat alumni PP Hamalatul Quran)

Apabila Anda ditanya, apakah 3 pondasi yg harus diketahui manusia?
Maka katakanlah, "Sepantasnya seorang hamba mengenal Robb-nya, agamanya, dan nabinya, yaitu Muhammad 'alaih afdholush sholatu wassalam (dengan disetai dengan dalil-dalilnya)."
Karna mengetahui segala sesuatu itu harus berdasarkan dalil-dalil (hujjah & bukti). Dalam hal ini Al-Quran, As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah (3 generasi awwal (para shahabat, tabi'in,dsb.) dan para ulama yang senantiasa meniti di jalan mereka)
Ketahulah wahai saudaraku -semoga Allah membbimbingmu menuju taufiq-Nya-, bahwa agama ini dibangun berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan perasaan. Ibnul Qayyim berkata, "Ilmu adalah firman Allah & sabda Rasululloh..."
[al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adillatuha oleh Syaikh Muhammad bin Sulaeman at-Tamimi]

:: Mengenal Robbul 'alamin::
Beberapa sebab manusia dapat mengenali Tuhan-nya:
1. Memperhatikan & mentadaburi ciptaan-ciptaan-Nya di alam semesta ini. Lihat: (QS al-A'rof: 185), (QS Yunus: 6), (QS al-Baqarah: 164).
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit & bumi serta silih bergantinya siang & malam terdapat ayat-ayat bagi orang-orang berakal." (QS Alu 'Imran: 190)
2. Memperhatikan ayat-ayat syar'iyyah, yaitu wahyu yg dibawa oleh para Rosul 'alaihimussalam.
"Maka apakah mereka memperhatikan Alquran? Jika seandainya Alquran itu bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan kontradiksi yg banyak." (QS an-Nisa': 82)
Di dalam Alquran tidak pernah ada kontradiksi antara ayat satu dengan ayat lain, bahkan dengan hadits sekalipun. Yang ada malah sebaliknya, yaitu saling menguatkan.
3. Ma'rifah (pengetahuan) yg dikaruniakan oleh Allah Jalla wa 'Ala di hati seorang mukmin.
Nabi tatkala ditanya oleh Jibril, apakah "ihsan" itu? Beliau menjawab,
"Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika kau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." (HR Muslim)
(Syarh al-Usul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Benothaymeen dengan sedikit perubahan)

:: Mengenal Hak-Hak Allah atas Segenap Manusia::
Allah berhak diesakan (ditauhidkan) oleh makhluqnya, yaitu dalam 3 perkara:
1. Rububiyyah,
2. Uluhiyyah, dan
3. Asma' & Shifat
Akan datang penjelasannya secara ringkas berikut:

:: Tauhid Rububiyyah ::
Yaitu, beriman bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, tidak ada sekutu dalam hal itu. [Ad-Durusul Muhimmah]
Oleh karna itu harus ada pengakuan bahwa Allah adalah Robb segala sesuatu, yang merajai, menciptakan, memberi rizki. Dan bahwasannya Dia menghidupkan, mematikan, memberi manfaat, memberi mudharat. Mahaesa dalam mengabulkan doa dalam keadaan genting. Di Tangan-Nya segala perkara, di Tangan-Nya pula seluruh kebaikan. Mahamampu atas segala sesuatu yg dikehendaki-Nya. Tidak ada sekutu dalam hal itu.
Semata-mata tauhid ini tidak mencukupi bagi seorang hamba dalam meraih Islam, akan tetapi harus diringi dengan tauhid uluhiyyah di samping tauhid ini. [Hasyiyah Ad-Durusil Muhimmah hal. 122 karya Dr. Ahmad bin Shalih bin Ibrahim Ath-Thuyan]
Penulis Al-Qowa'idul Arba' berkata,
"Bahwasannya kaum musyrikin yg diperangi Rasululloh, mereka mengakui bahwa Allah adalah pencipta, pemberi rizki & pengatur. Akan tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk ke dalam Agama Islam.
Dalilnya adalah firman Allah Jalla wa 'Alaa, "Katakan siapa yang memberi kalian rizeki dari langita dan bumi, atau siapakah yang mampu (menciptakan) pendengaran & penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka katakanlah, 'Mengapa kalian tidak bertaqwa (kepada-Nya)?" (QS Yunus: 31)
Bersambung insyaAllah....

:: Memahami Tauhid Uluhiyyah ::
Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz berkata,
"Adapun 'tauhid rububiyyah', yaitu beriman bahwasannya Allah Subhanah adalah sesembahan (ma'bud) yg haq tidak ada sekutu dalam hal itu. Dan inilah makna "Laa ilaaha illallah". Karena makna kalimat itu adalah tidak ada sesembahan yg haq kecuali Allah. Maka seluruh ibadah berupa shalat, puasa, dan selainnya wajib diikhlaskan untuk Allah semata dan tidak mengalihkan sesuatu dari ibadah itu kepada selain-Nya."
Dr. Ahmad bin Shalih Ath-Thuyan menjelaskan pernyataan di atas dengan berkata,
"Tauhid Uluhiyyah dibangun di atas pengikhlasan persembahan kepada Allah berupa kecintaan, khouf (takut), mengharapa (roja'), tawakal, roghbah, rohbah, doa kepada Allah semata. Dan semua itu di bangun di atas keikhlasan kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya dalam semua bentuk ibadah, baik lahir maupun batin, tidak mempersembahkan sesuatu dari ibadah itu untuk selain-Nya.
Tauhid inilah yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala, "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin [Hanya kepada-Mu lah kami beribadah & hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan]."
Tauhid jenis ini merupakan agama yang pertama dan akhirnya; baik lahir maupun batin.
Tauhid ini pula lah yang didakwahkan pertama kali oleh para Rosul dan akhirnya. Dan karena tauhid ini, makhluq diciptakan, diutus para Rosul, dan diturunkan Kitab-Kitab. Karenanya pula manusia terbagi menjadi 2, yaitu mukmin dan kafir. [Hasyiyah ad-Durusil Muhimmah hal. 122-123]
Ket.:
* Tawakal kepada Allah adalah menggantungkan diri kepada Allah sebagai pemberi kecukupan dalam mendatangkan manfa'at & mencegah mudharat (bahaya).
* Roghbah adalah keinginan memperoleh sesuatu yang disukai.
* Rohbah adalah ketakutan yg menumbuhkan tindakan menghindar dari yang ditakuti. Jadi, rohbah adalah rasa takut yang diiringi dengan tindakan
* Khauf adalah takut, yaitu reaksi emosional yg muncul disebabkan oleh dugaan seseorang tentang adanya kebinasaan, bahaya, atau gangguan yang akan menimpa dirinya. "Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar beriman." [QS Alu 'Imran: 175]
[Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Al-'Allamah Muhammad bin Sholih Abu 'Abdillah]
Penulis berkata, "Tauhid inilah yang terkandung dalam kalimat agung 'Laa ilaaha illallaah'. Akan datang penjelasan ringkasnya pada waktu mendatang, insyaAllah."
Bersambung, insyaAllah.....

:: Memahami Kalimat Agung 'Laa ilaaha illallaah' ::
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita, bahwa kalimat 'laa ilaaha illallaah' adalah sebaik-baik kalimat yang diketahui oleh makhluk dan seagung-agungnya ibadah karena makna yang begitu tinggi serta pahalanya yang sangat besar.
Rasululloh shollallohu 'alaih wa sallam bersabda, "(Nabiyullah) Musa (bin 'Imran) berkata (kepada Allah), 'Wahai Robb-ku, ajarilah aku sebuah kalimat yang dengannya aku berdoa kepada-Mu." Alloh berfirman, 'Katakanlah Laa ilaaha illallaah.'
Musa berkata, 'Wahai Robb-ku, semua hamba-Mu mengatakan (kalimat) ini.'
'Hai Musa, seandainya langit yang tujuh beserta isinya selain-Ku,' jawab Allah, 'Dan bumi tujuh lapis dalam sebuah daun timbangan dan Laa ilaaha illallaah dalam suatu timbangan, niscaya Laa ilaaha illallaah lebih berat.'" [Lihat: 'Kitabut-Tauhid', Bab II: 'Siapa yang Berkata Laa ilaaha illallaah dengan Ikhlas Niscaya Masuk Surga ' oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Sulaeman al-Tamimi rohimahulloh]
Layaknya ibadah-ibadah lainnya yang memiliki rukun & syarat, demikian pula kalimat 'Laa ilaaha illallaah' ini memiliki rukun & syaratnya.
* Makna 'Laa ilaaha illallaah'
Yaitu, tidak ada tuhan YANG BERHAK diibadahi selain Allah Jalla wa 'Alaa. Maka (Laa ilaaha) adalah menafikan segala sesuatu yang disembah selain Allah dan (illallaah) adalah menetapkan seluruh 'ibadah hanya diperuntukkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. [ Lihat makna 'Laa ilaaha illallaah' dalam buku "Taisirul 'Azizil Hamid syarh Kitabit-Tauhid" hal. 74 dan "Risalah 'Laa ilaaha illallaah' karya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz ]
Penjelasan:
Makna 'Laa ilaaha illallah' adalah keyakinan & pengakuan bahwa tidak ada yang berhak menerima 'ibadah selain Allah, lalu berkomitmen dan mengamalkannya.
Alloh berfirman, "Ketahuilah, sesungguhnya Dia 'Laa ilaaha illallaah' dan mohon ampunlah untuk dosamu." [QS Muhammad: 19]

2. Rukun 'Laa ilaaha illallaah'
Kalimat ini memiliki dua rukun, yaitu:
1. Peniadaan seluruh sesembahan yang membatalkan syirik dengan berbagai macamnya dan mengharuskan mengingkari setiap yang disembah selain Allah.
2. Penetapan (Illallaah -selain Allah-) yang menetapkan bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah selain Allah.
Makna yang seperti ini telah disebutkan dalam Alquran.
Alloh berfirman, "Dan siapa yang mengingkari thaghut (rukun ke-1. Pent.)dan beriman kepada Allah (rukun ke-2. Pent), maka dia telah berpegang teguh dengan tali yang kuat." [QS Albaqarah: 256]
Lihat pula: QS Az-Zukhruf: 26-27

Makna ini pula lah yang diyakini oleh ulama semenjak dahulu hingga sekarang. Sebut saja Ibnu Katsir dalam "Tafsir"-nya, Asy-Syarbini al-Khathib, Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami al-Batawi asy-Syafi'i dalam "Safinatun-Najah",Syaikh Muh. Nawawi al-Bantani al-Jawi -yang konon bergelar 'Sayyid Ulama al-Hijaz' (Penghulu para ulama Hijaz) dalam "Kasyifatus-Saja", "Tafsir Murah Labid / at-Tafsir al-Munir" ketika mentafsirkan ayat Kursi, al-Habib Asy-Syathiri dalam "Nailur-Roja", Syaikh Imam Ahmad al-Khathib al-Mingkabawi al-Jawi -imam & khatib Masjidil Haram- dalam "Hasyiyah An-Nafahat", Syaikh Abul Faidh Muh. Yasin al-Fadani al-Makki dalam "Al-Fawaid al-Janiyyah", dll.
Bahkan kaum musyrikin di zaman Rosululloh pun mengetahuinya. Oleh karena itu, tatkala mereka diminta untuk mengucapkan kalimat ini, mereka merasa sombong dan pada akhirnya enggan [Lihat: QS ash-Shoffat: 35-36]. Allah berfirman menitir jawaban kaum musyrikin, "Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja?! Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang mengherankan!" [QS Shod: 5]
Oleh karena itu, telah salah besar orang yang mengartikan kalimat ini dengan 'tidak ada tuhan selain Allah' tanpa disela dengan kalimat 'yang berhak disembah'. "Karena jika demikian,' tulis Syaikh Ahmad al-Khathib Minangkabau dalam An-Nafahat, 'Niscaya tidak ada manfaatnya kalimat ini!"
Benar saja, karena jika tidak ada tuhan selain Allah, maka akan berarti bahwa tidaklah pohon-pohon, patung-patung, batu-batu yang disembah oleh orang-orang musyrik itu kecuali adalah Allah. Subhanallah, Mahasuci Allah dari segala sekutu-kutu! Sungguh, sangat fatal keslahan ini. Celakanya, banyak orang yang tidak mempedulikannya, tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu!?



referensi:
1. Alquran al-'Azhim
2. Ad-Durusul Muhimmah karya al-'Allamah 'Abdul 'Aziz beserta Hasyiyah-nya oleh Dr. Ahmad bin Shalih Ath-Thuyan. KSA: Dar Thuwaiq lin Nasyr wat Tauzi' cer. ke-6 1431 H/ 2010 M
3. Al-Ushul Ast-Tsalatsah wa Adillatuha
4. Pelajaran-pelajaran yang ana terima dari asatidz
Dll.

BERSIKAPLAH ADIL KEPADA SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB.


Mengapa Mereka Menyerang Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab?
Syaikh berkata:"“Bermacam-macam tuduhan telah dilontarkan kepada kami, fitnah pun makin menjadi-jadi, mereka mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dari kalangan iblis untuk menyerang kami. Dan di antara kebohongan yang mereka sebarkan, adalah tuduhan bahwa aku mengkafirkan seluruh kaum muslimin kecuali pengikutku, dan menikah dengan mereka hukumnya tidak sah"".
======================================
Sejak awal kemunculannya, dakwah yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab senantiasa mendapatkan serangan menohok dan selalu berhadapan dengan musuh-musuh keji, baik dari pihak penguasa, kalangan yang mengklaim berafiliasi kepada ilmu (baca: ulama jahat), kelompok-kelompok sesat, ataupun orang-orang kafir.
Beragam metode dan konsep diterapkan mereka guna membendung dakwah Ahlussunnah yang dikembangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mulai dari penulisan dan pendistribusian buku-buku yang menyerang dakwah ‘salafiyyah’ reformis itu, semisal buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi yang ditulis oleh Syaikh Idahram (Marhadi Muhayyar); lalu agitasi, provokasi, dan intimidasi para penguasa kafir terhadap para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab, dan bahkan dengan kekerasan fisik (senjata).
========================================
Bahkan musuh-musuh itu tidak segan-segan memberikan stigma negatif-ofensif kepada dakwah yang mengajak manusia untuk bertauhid secara lurus dan purfikatif itu. Mereka mencap para pengikut dakwah Syaikh yang tumbuh-besar di Nejed itu sebagai teroris, ekstremis, radikalis, kelompok eksklusif, dan sederet terminologi buruk lainnya. Mereka mengistilahkan “Wahhabi” untuk setiap pengikut dakwah Syaikh. Para pengikut dakwah tauhid disebut sebagai orang-orang yang melanggar tradisi dan kepercayaan, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur‘an Al-Karim dan hadits-hadits shahih.
=========================================
...Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan ‘Wahhabi’. Semua tak sesuai dengan realitanya...
=========================================
Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kaum muslimin untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau para pelaku bid’ah.
=========================================
Mengomentari serangan seperti itu, di dalam Majmu’ah Mu‘allafat Asy-Syaikh Muhammad ibni Abdil Wahhab (26/5), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menceritakan:
“Tatkala aku muncul ke permukaan untuk membenarkan dakwah Rasulullah, orang-orang mencaciku dengan keji. Mereka mengira bahwa aku telah mengafirkan semua orang Islam dan menganggap halal harta-harta mereka.”
=========================================
Dalam surat korespondensinya kepada As-Suwaidi –seorang ulama asal Irak— sebagai jawaban atas surat As-Suwaidi kepadanya, Syaikh Ibnu Abdul Wahhab mengutarakan kebencian dan fitnah dusta yang dilayangkan musuh-musuh mereka.

Untuk menukil tuduhan tersebut saja orang yang berakal merasa malu, apalagi untuk mempercayainya. Bagaimana mungkin orang yang berakal memiliki keyakinan seperti itu? Apakah mungkin seorang muslim meyakini keyakinan demikian? Aku berlepas diri dari tuduhan itu. Tuduhan itu tidaklah dilontarkan melainkan dari orang yang tidak waras dan linglung. Semoga Allah Ta’ala memerangi orang-orang yang bermaksud jelek.” (Kitab Ad-Durar As-Saniyyah, I/80)
Jika kita meneliti kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang menyerang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, maka kita bisa mendapatkan fakta bahwa kebanyakan mereka berasal dari kelompok Syi’ah Rafidhah, kelompok Sufi ekstrim, kaum sekular-liberalis, orang-orang kafir, Para ulama su‘ yang memandang kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran, dan yang lainnya. Kelompok Syiah Rafidhah melancarkan serangan kepada dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab demi membela akidah dan imam-imam mereka.

Akidah Syi’ah menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah telah murtad dari Islam, dikarenakan tidak mendahulukan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khatthab. Tak aneh jika Syi’ah sampai menyatakan halal atas darah dan harta Ahlussunnah. Dalam akidah Syi’ah, mencaci dan menghina sahabat mempunyai keutamaan besar, sehingga termasuk tindakan yang diganjar hadiah surga. Kebencian Syi’ah kepada para sahabat Nabi Muhammad, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, dan lainnya sungguh mengurat-akar. Tidak sedikit ulama Ahlussunnah yang membantah ajaran-ajaran sesat Syi’ah melalui kitab-kitab dan tulisan-tulisan. Termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Melalui Risalah fi Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah (Risalah untuk Membantah Syi’ah Rafidhah), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah sejumlah prinsip dan ajaran Syi’ah melalui argumentasi singkat dan dalil-dalil yang meyakinkan. Belum lagi kemarahan mereka semakin menghebat, karena para ksatria dakwah tauhid telah menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Semua ini mendorong mereka untuk memusuhi dakwah tauhid, dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.

Pun demikian dengan golongan Sufi yang melakukan hal-hal bid’ah dalam agama. Prinsip-prinsip kelompok tasawuf banyak bertentangan dengan ajaran Islam sesuai pemahaman Rasulullah dan para sahabat beliau. Sehingga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta para muridnya merasa perlu untuk meluruskan pemikiran kelompok Sufi dengan hujjah-hujjah yang gamblang dan tegas. Satu persatu syubhat dan kerancuan kaum Sufi pun terbantahkan. Seluruh bid’ah dan amalan-amalan keagamaan yang bernuansa kesyirikan dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah lambat-laun menghilang dari bumi Najed dan Hijaz. Tak pelak lagi, hal tersebut membuat murka kalangan Sufi, sehingga pengikut mereka semakin susut. Kemudian mereka menghalalkan segala cara untuk membendung dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sementara orang-orang sekular dan liberalis –serta orang-orang yang mengaku reformis-moderat– sengaja menyerang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab demi mempreteli prinsip-prinsip syariat Islam, berlepas diri darinya, serta memarjinalkan Islam dari sendi-sendi kehidupan masyarakat demi kepuasan hedonistik dan kehidupan permisif. Ditambah lagi pihak-pihak yang mencoba untuk memprovokasi orang-orang agar menyerang dakwah tauhid, dikarenakan prinsip-prinsip dakwahnya –semisal jihad fi sabilillah dan al-wala‘ wa al-barra‘ (loyalitas dan anti-loyalitas dalam Islam)— menghalangi syahwat keduniaan mereka. Sehingga mereka, misalnya, terhalang untuk bisa bermesraan dengan orang-orang kafir dan terhalang meraup keuntungan materialistik. Tujuan para pengusung akal adalah kehidupan dunia; makan enak, tidur nyenyak, dan harta banyak, meskipun harus mengorbankan prinsip-prinsip akidah dan hukum-hukum syariat.

Adapun permusuhan Barat kepada dakwah yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sudah jauh lebih lama menyeruak, sejak dakwah penuh keberkahan ini muncul. Jalal Abu Alrub, dalam Biography and Mission of Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb, menyebutkan bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan ‘Wahhabisme’, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ulama di India yang memeluk dan menyokong dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dalam situs Wikipedia disebutkan, imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab terhadap eksistensi mereka. Sebab Syaikh menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid’ah, sedangkan Inggris justru mempertahankan hal-hal tersebut, karena di situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syirik dan bid’ah, niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah ‘Wahhabi’ dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci mereka.
Hal demikian senada dengan analisa W.W Hunter dalam bukunya yang berjudul The Indian Musalmans. Dia mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menulis, “Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhabi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama jihad untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”
=========================================
Tidaklah mengherankan jika Barat begitu gigih menentang dakwah ‘salafiyah’ ini. Orang-orang Kristen Barat merupakan penganut trinitas dan melakukan kesyirikan kepada Allah. Sedangkan dakwah yang dikomandoi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berdiri di atas prinsip pengesaan (tauhid) Allah SWT. Orang-orang Barat begitu menikmati hubungan mesra mereka dengan syahwat dunia, harta, tahta, dan wanita. Sementara dakwah tauhid menyeru orang-orang agar patuh kepada Allah, mau beribadah kepada-Nya tanpa dibarengi kemusyrikan, dan berpaling dari segala sesuatu selain-Nya.
=========================================
Sebelum diteruskan membaca,sekedar saran untuk antum yang mau menuntut ilmu On Line,silahkan klik Link berikut ini:

http://radiorodja.com/live-streaming/ Jakarta 756AM
Bandung 1476 AM
Lampung Timur 91.1 FM
http://www.radiomuslim.com/ jogjakarta 107.8 FM
http://www.radiokita.or.id/ Madiun 105.2 FM
http://www.hang106.or.id/ Batam 106 FM
http:www.assunahfm.com Cirebon 92.3 FM
http://www.alimanradio.or.id/ Surabaya 774 AM
http://bassfmsalatiga.com/ Salatiga 93.2 FM
http://hidayahfm.com/ Pekan Baru 103.4 FM
http://nurussunnah.com/ Semarang 107.7 FM
http://www.kajianonlinemedan.com/ Medan
http://radioarroyyan.net/ Gresik
http://assunnahfm.com/ Suara Qur'an Lombok 106.7 FM
http://suaraquran.com/ Surabaya 94.4 FM
http://radiomuadz.com/ Kendari 94.3 FM
http://darunnajahgenteng.com/ Radio alhikmah 98.80 FM
=========================================
Secara definitif, Syaikh Abdul Aziz Abdul Latif menerangkan faktor-faktor pemicu pertentangan orang-orang awam terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang diringkas ke dalam poin-poin berikut:

1. Ketidaktahuan akan agama Islam secara komprehensif dan terstruktur, berkembangnya penyimpangan-penyimpangan akidah yang dianut kebanyakan orang Islam, sikap fanatik terhadap pendapat-pendapat ulama yang tidak memiliki pemahaman lurus tentang Islam, taklid buta, pemujaan terhadap kuburan, berhukum kepada thaghut (segala sesuatu yang disembah dan ditaati selain Allah), condong dan merasa nyaman ‘bermesraan’ dengan orang-orang kafir. Semua fenomena di atas terlihat jelas dari kehidupan kaum muslimin kontemporer. Sementara dakwah tauhid meniscayakan ketundukan kepada teks-teks wahyu dan penyembahan kepada Allah semata.
Dakwah tauhid mengajarkan bahwa para ulama hanyalah sekadar sarana dan wasilah untuk memahami Islam. Jika para ulama itu menyimpang dari akidah yang benar, maka pendapat mereka tidak bisa diikuti. Islam menetapkan bahwa siapa saja yang menuhankan ulama atau penguasa dalam proses menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah halalkan, maka para ulama dan penguasa itu tak ubahnya tuhan-tuhan selain Allah. Islam juga melarang umatnya untuk loyal kepada orang-orang kafir. Siapa saja muslim yang membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam. Wajar jika dakwah tauhid yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini muncul, maka para ulama su‘ (jahat) dan orang-orang awam beramai-ramai menentangnya. Ini mengingat, dakwah tauhid menyelisihi kebiasaan-kebiasaan syirik dan bid’ah yang biasa mereka lakukan.

2. Faktor kedua yang memicu serangan bertubi-tubi kepada dakwah tauhid adalah stigma yang melekat pada dakwah dan tokoh-tokohnya. Tak terhitung lagi banyaknya distorsi, tuduhan dusta, dan kerancuan-kerancuan yang diarahkan musuh-musuh tauhid kepada dakwah dan tokoh-tokohnya.
Segenap musuh beramai-ramai melakukan kedustaan atas nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sebagaimana dilakukan Abdullah bin Suhaim –salah seorang musuh Syaikh Ibnu Abdul Wahhab. Dia menulis surat ke sejumlah ulama negeri muslim untuk memprovokasi mereka agar menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dalam surat yang ditulisnya terdapat berbagai kebohongan dan kedustaan. Tak heran jika kemudian orang-orang termakan hasutan dan kedustaan para ulama su‘ itu, sehingga mereka dengan sukarela melancarkan serangan.

3. Pertikaian-pertikaian politik dan peperangan yang terjadi antara para pengikut dakwah tauhid dengan orang-orang Turki Utsmani, serta antara para pengikut dakwah tauhid dengan para penguasa. Pertikaian-pertikaian ini masih menyisakan bekas hingga saat ini. Di majalah Al-Manar, Muhammad Rasyid Ridha pernah menulis, “Sesungguhnya penyebab munculnya tuduhan bahwa Wahhabiyah melakukan ‘bid’ah’ dan ‘kekafiran’ adalah murni karena persoalan politik an-sich, agar kaum muslimin yang telah menguasai daerah Hijaz menghindar darinya. Orang-orang Turki Utsmani merasa ketakutan bahwa kaum muslimin akan mendirikan sebuah Negara Arab. Sejatinya, apabila badai politik mereda, maka orang-orang Turki Utsmani tidak akan mengotak-atik para ‘Wahhabis’.

4. Termasuk ke dalam faktor yang membuat musuh-musuh menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ketidaktahuan mereka tentang hakikat dakwah tauhid dan keengganan mereka untuk menelaah karya-karya dan tulisan-tulisan tokoh-tokoh dakwah tauhid. Disebabkan kedengkian dan sikap apriori, mereka enggan untuk mau meneliti karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau tokoh-tokoh lainnya, secara fair dan dengan hati serta pikiran terbuka. Adakah dari mereka yang secara tulus mau menelaah kitab Ushul Al-Iman, Al-Qawa’id Al-Arba’ah, Tsalatsah Ushul, Kitab At-Tauhid, Kasyfu Asy-Syubuhat, dan lain sebagainya? Jika memang mereka merasa keberatan dengan dakwah yang diusung Syaikh, maka silahkan kritisi dan bantah dengan dalil-dalil yang kuat dan mu’tabar (kredibel). Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya. Mayoritas intelektual dan ‘ulama’ mengetahui dakwah yang diusung Syaikh Ibnu Abdul Wahhab melalui kitab-kitab dan tulisan-tulisan musuh-musuhnya. Sebagaimana dinyatakan sebuah ungkapan: “Manusia selalu memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya.”

Bagi orang-orang yang mau bersikap adil, mereka akan mengetahui betapa istimewanya dakwah tauhid yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Istimewa dari segi pengambilan-pengambilan hukum dan prinsip melalui sumber-sumber primer Islam yang purifikatif, kemurnian akidah, dan keabsahan manhajnya. Membela dakwah tauhid bukan sekadar membela para ulama dan tokohnya semata, namun juga membela prinsip-prinsip dan hukum-hukum Allah dan manhaj salafush-shalih. Akhirnya, semoga kita semua bisa mengambil manfaat dari upaya-upaya ilmiah dan khazanah intelektual berharga yang diwariskan para ulama dan tokoh dakwah tauhid. Sebagaimana juga mengambil manfaat dari kehidupan dan pengalaman mereka. Wallahu A’lam.

Oleh: Ganna Pryadha
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

TAUHID RUBUBIYAH DAN PENGAKUAN ORANG-ORANG MUSYRIK TERHADAPNYA

Written By Unknown on Friday, 27 July 2012 | Friday, July 27, 2012



Oleh
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan



Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya Nama-nama dan Sifat-sifatNya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam: Tauhid Rububiyah , Tauhid Uluhiyah serta Tauhid Asma' wa Sifat. Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.

Makna Tauhid Rububiyah
Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Allah menciptakan segala sesuatu ..." [Az-Zumar: 62]

Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, ..." [Hud : 6]

Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." [Ali Imran: 26-27]

Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah ..." [Luqman: 11]

"Artinya : Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya?" [Al-Mulk: 21]

Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." [Al-Fatihah: 2]

"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam." [Al-A'raf: 54]

Allah menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menye-kutukan Allah dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyah-Nya.

"Artinya : Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [Al-Mu'minun: 86-89]

Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah:

"Artinya : Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?" [Ibrahim: 10]

Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir'aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa alaihis salam kepadanya:

"Artinya : Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa". [Al-Isra': 102]

Ia juga menceritakan tentang Fir'aun dan kaumnya:

"Artinya : Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya." [An-Naml: 14]

Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang membuatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempenga-ruhinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." [Ath-Thur: 35-36]

Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala bagian-bagiannya, anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat, Pencipta dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.

Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk menertawakan dirinya.


[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq]
almanhaj.or.id

Fenomena tahdzir sesama Ahlussunnah & solusinya

Written By Unknown on Wednesday, 18 July 2012 | Wednesday, July 18, 2012


Oleh: Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr

Muncul fenomena belakangan ini, sebagian Ahlus Sunnah sibuk mengomentari sebagian yang lain, saling mencaci dan saling men-tahdzir, hal demikian ini telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta sikap saling hajr (menjauhi) di antara mereka. Seharusnya mereka saling berkasih sayang dan menyatukan barisan dalam menghadapi ahlul bida’ dan ahlul hawa’ yang mana mereka adalah sebenar-benar penentang golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Fenomena ini terjadi akibat dua perkara, yaitu:
Pertama: Sebagian Ahlus Sunnah pada zaman sekarang memiliki kebiasaan menyibukkan diri mencari-cari kesalahan orang lain, baik melalui karangan-karangan atau kaset-kaset. Kemudian, mereka men-tahdzir siapa saja yang didapatinya melakukan sebuah kesalahan. Bahkan, di antara perkara yang dianggap kesalahan, sehingga karenanya orang tersebut dapat ditahdzir adalah bekerja sama dengan salah satu yayasan atau badan sosial agama (Jam’iyyat Khoyriyah) seperti memberikan ceramah atau turut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial tersebut.
Padahal Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumallah pernah memberikan muhadhoroh untuk yayasan tersebut melalui saluran telepon. Apakah seseorang dapat dan layak dicela karena ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan ‘mubah’ atau ‘boleh’ oleh dua orang ulama besar? Dan lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu daripada menyalahkan pendapat orang lain, terlebih jika pendapat itu telah mendapat fatwa dari oleh para ulama besar. Oleh karena itu, sebagian Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata seusai perjanjian Hudaibiyah, “Wahai sekalian manusia! Hendaklah kalian mengkoreksi pendapat ro’yu (akal) bila bertentangan dengan perintah agama.”
Bahkan di antara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfaat yang cukup besar, baik dalam hal memberikan pelajaran, atau melalui karya-karya tulis, atau khutbah. Ia ditahdzir hanya karena tidak pernah memberikan komentar tentang si Fulan atau Jama’ah tertentu, misalnya. Bahkan celaan dan tahdzir tersebut merembet hingga ke bagian yang lainnya di negara-negara Arab dari orang-orang yang manfaatnya menyebar luas dan perjuangannya cukup besar dalam menegakkan dan menebarkan Sunnah serta berdakwah kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir seperti ini merupakan tindakan menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak mulia.

Kedua: Sebagian Ahlus Sunnah apabila melihat salah seorang Ahlus Sunnah melakukan kesalahan, spontan dia menulis sebuah bantahan terhadapnya, kemudian orang yang dibantah pun membalas dengan menulis bantahan pula. Kemudian masing-masing dari keduanya saling sibuk membaca tulisan yang lainnya atau ceramah serta memperdengarkan kaset-kasetnya yang sudah lama untuk mengumpulkan berbagai kesalahan dan aibnya. Boleh jadi sebagiannya merupakan kekhilafan bicara, ia melakukan hal tersebut sendiri atau dibantu oleh orang lain. Kemudian masing-masing pihak berusaha mencari pendukung untuk membelanya sekaligus untuk meremehkan pihak lain. Kemudian pendukung dari kedua belah pihak berusaha memberikan dukungan bagi pendapat orang yang didukungnya dan mencela pendapat lawan. Dan memaksa setiap orang yang mereka temui untuk memberikan sikap terhadap orang yang tidak didukungnya. Jika tidak, maka ia akan divonis bid’ah sebagai konsekuensi vonis bid’ah terhadap pihak lawan.
Kemudian hal yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk meng-hajr¬nya. Tindakan para pendukung dari kedua belah pihak termasuk penyebab utama muncul dan menyebarnya fitnah dalam skala yang lebih luas. Dan keadaan semakin bertambah parah lagi apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaannya melalui media internet. Kemudian generasi muda Ahlus Sunnah di berbagai negara bahkan di berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan yang tersebar di website masing-masing pihak tentang ‘kata si fulan’ dan ‘kata si fulan’ yang tidak membuahkan kebaikan sama sekali, tetapi hanya membawa dampak kerusakan dan perpecahan. Hal ini telah membuat pendukung kedua belah pihak yang berseteru seperti orang yang terpaku di depan kaca iklan untuk mengetahui berita apa yang tengah tersebar. Tak ubahnya seperti orang yang terfitnah dengan fanatisme klub-klub olah raga yang masing-masing supporter memberikan dukungan untuk klubnya. Sehingga hal yang demikian menimbulkan persaingan, keberingasan dan pertengkaran di antara mereka.

Bagaimana Solusinya..?
Jalan selamat dari fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini:
Pertama: Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahdzir, perlu diperhatikan hal-hal berikut.
Orang yang menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta men-tahdzir mereka, hendaklah takut kepada Allah. Lebih baik ia menyibukkan diri memeriksa aib-aibnya sendiri supaya ia dapat memperbaiki diri, daripada ia sibuk membicarakan aib orang lain. Dan lebih baik ia menjaga konsistensi amal, jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang dicela dan dicacinya. Sementara ia sangat butuh terhadap amal kebaikan tersebut daripada orang lain, pada hari yang tiada bermanfaat harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
Hendaklah ia menyibukkan diri dengan mencari ilmu yang bermanfaat daripada ia sibuk mencela dan men-tahdzir orang lain. Lebih baik ia giat dan bersungguh-sungguh mencari ilmu agar ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfaat dan bermanfaat. Salah satu pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah ia sibuk menuntut ilmu, belajar, mengajar, berdakwah dan menulis. Apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun, dan tidak menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah. Serta menutup jalan yang dapat menyebabkan dirinya mengambil berita dari mereka, sehingga ia menjadi seperti orang yang hancur. Orang yang sibuk mencela seperti ini, tentu dia tidak akan meninggalkan ilmu yang dapat memberi manfaat kepada orang lain. Manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang dapat memberi manfaat. Justru dengan kepergiannya, mereka merasa selamat dari kejahatannya.
Para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah dimanapun mereka berada hendaklah menyibukkan diri menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfaat dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh bin Baaz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah, daripada menyibukkan diri mereka dengan menelepon si Fulan dan si Fulan untuk bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Apa pula pandanganmu terhadap perkataan si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Perkataan si Fulan terhadap si Fulan?’
Ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang keadaan orang-orang yang aktif menyebarkan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ (Tim Komisi Pemberi Fatwa) di Riyadh untuk bertanya tentang keadaan mereka tersebut. Apakah mereka berhak dimintai fatwanya dan bolehkah menuntut ilmu darinya atau tidak? Dan barang siapa yang betul-betul tahu tentang keadaan orang tersebut hendaklah ia menulis surat kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ tentang apa yang diketahuinya tentang orang tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam masalah tersebut. Supaya hukum yang diputuskan berupa celaan atau tahdzir dikeluarkan oleh lembaga yang bisa dipercaya fatwanya, dalam hal ini menerangkan siapa yang boleh diambil ilmunya dan siapa yang bisa diambil fatwanya. Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya lembaga resmilah sebagai tempat rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa untuk mengetahui siapa saja yang boleh dimintai fatwanya dan diambil ilmunya. Dan janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam persoalan penting seperti ini. Sesungguhnya di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang bukan urusannya.

Kedua: Masalah yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang keliru, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
Bantahan tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah lembut, disertai harapan yang tulus untuk menyelamatkan orang yang keliru tersebut dari kesalahannya. Ketika kesalahan tersebut sudah jelas dan nyata. Dan seharusnya merujuk kepada bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syaikh bin Baaz rahimahullah untuk mengambil faedah darinya tentang sebuah metode yang patut diperhatikan dalam menulis sebuah bantahan.
Apabila bantahan tersebut ditujukan kepada sebuah kesalahan yang masih belum jelas, dan termasuk jenis persoalan yang bantahan terhadapnya mengandung sisi benar dan sisi salah, maka untuk memutuskan persoalan tersebut perlu merujuk kepada Lajnah Daimah lil Ifta’. Adapun bila kesalahan tersebut sudah jelas, maka bagi pihak yang dibantah seharusnya merujuk kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada bertahan di atas kebathilan.
Apabila seseorang telah memberikan bantahan terhadap orang lain maka sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya ia tidak perlu mengikuti gerak-gerik orang yang dibantahnya. Tetapi hendaklah dia menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang akan membawa manfaat yang sangat besar bagi dirinya dan bagi orang lain, beginilah sikap Syaikh bin Baaz rahimahullah.
Seorang penuntut ilmu tidak boleh menguji saudaranya, dengan memaksanya untuk memilih sikap tegas terhadap orang yang dibantahnya atau orang yang membantahnya. Jika setuju ia selamat, dan jika tidak ia divonis bid’ah dan dihajr. Tidak seorangpun berhak menisbatkan kepada manhaj Ahlus Sunnah secara ceroboh seperti ini dalam menjatuhkan vonis bid’ah dan hajr. Begitu juga tidak seorangpun yang berhak menuduh orang yang tidak menempuh cara yang ceroboh seperti ini sebagai perusak manhaj Salaf. Hajr yang bermanfaat dikalangan Ahlus Sunnah adalah hajr yang dapat memberikan manfaat bagi yang dihajr (dikucilkan), seperti orang tua menghajr anaknya dan seorang guru terhadap muridnya. Dan begitupula hajr yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehormatan dan kedudukan yang tinggi. Pengucilan yang mereka lakukan memberi faedah bagi orang yang dikucilkan.
Adapun bila hal itu dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian lainnya, apalagi bila penyebabnya adalah masalah yang tidak sepatutnya menjadi alasan dilakukan pengucilan, maka hal seperti ini tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan hal tersebut akan berakibat pada pertengkaran dan perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Majmuu Fatawa’ (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah, “Pendapat yang benar adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa sesungguhnya Yazid tersebut tidak secara khusus dicintai dan dicela. Bersamaan dengan itu, sekalipun dia seorang yang fasiq atau seorang yang zhalim, maka Allah mengampuni dosa seorang yang fasiq dan dosa seorang yang zhalim, apalagi bila dia memiliki kebaikan-kebaikan yang cukup besar. Sesungguhnya Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أول جيش يغزو القسطنطينية مغفورله
“Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qasthanthiniyyah akan memperoleh ampunan.”
Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qathanthiniyyah dikomandoi oleh Yazid bin Mu’awiyah dan turut serta bersama pasukan tersebut adalah Abu Ayub al-Anshari. Maka yang wajib dalam hal ini adalah bersikap netral, dan tidak mengomentari Yazid serta tidak menguji kaum muslimin dengannya (yakni meminta pendapat tentangnya). Karena hal itu termasuk bid’ah yang menyalahi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Ia (Syaikhul Islam) berkata lagi (III/415), “Dan demikian juga memecah belah antara umat dan menguji mereka dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Dan ia berkata lagi (XX/164), “Tidak seorang pun yang berhak mengangkat seorang figur untuk umat ini yang diseru dan diikuti jalannya, yang menjadi tolak ukur dalam menentukan wala’ (loyalitas) dan baro’ (permusuhan), kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak seorang pun yang berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan, kecuali perkataan Allah dan Rasul-Nya serta apa yang menjadi kesepakatan umat. Perbuatan seperti itu adalah kebiasaan mubtadi’ (ahli bid’ah), mereka mengangkat seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat. Mereka menjadikan pendapat tersebut atau figur tersebut sebagai tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan.”
Ia berkata lagi, (XXVIII/15-16), “Apabila seorang guru atau ustadz memerintahkan hajr terhadap seseorang atau menjatuhkan (wibawanya) dan menjauhinya atau yang semisalnya, maka si murid harus mempertimbangkannya terlebih dahulu. Jika orang tersebut melakukan suatu dosa yang secara syar’i berhak dihukum, maka hukumlah dia sesuai kadar dosanya, tanpa berlebihan. Dan jika dia tidak melakukan dosa yang secara syar’i berhak untuk tidak dijatuhi hukuman, maka ia tidak boleh dihukumi dengan hukuman apapun, hanya karena keinginan seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokkan manusia dan menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka. Tetapi hendaklah mereka saling bersaudara, saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah,
وتعاونوا على البر والتقوى, ولا نعاونوا على الإثم والعدون
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maa’idah: 2)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (I/288) mengenai syarah hadits:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.” (Riwayat Tirmidzi no. 2317, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Imam Ibnu Majah no. 3211)
Hadits ini mengandung pokok yang amat penting dari pokok-pokok adab. Imam Abu ‘Amru bin ash-Sholah telah menceritakan dari Abi Muhammad bin Abi Zaid (salah seorang Imam madzhab Malikiyyah pada zamannya) bahwa ia berkata, “Kumpulan berbagai adab dan himpunannya bercabang dari empat hadits, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خبرا أوليصمت.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau (lebih baik) diam.” (Riwayat Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 74)
Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.”
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wasiat yang singkat,
لا تغضب.
“Jangan marah.” (Riwayat Bukhari no. 6116)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المؤمن يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari no. 13; Muslim no. 45; an-Nasa’i VIII/115; Tirmidzi no. 2515; ad-Darimi II/307; Ibnu Majah no. 66; dan Ahmad III/176,206,251,272,278)

Aku (penulis) berkata, Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu beradab dengan adab-adab ini yang membawa kebaikan dan faedah bagi meerka dan orang lain. Serta menjauhi sikap kasar dan kata-kata kasar yang tidak akan membuahkan apapun kecuali permusuhan, perpecahan, saling benci dan mencerai beraikan persatuan dikalangan kaum muslimin.
Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasihati dirinya, hendaklah ia meninggalkan kesibukan mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai.

(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr dalam Rifqaan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah)

http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com/2010/01/fenomena-tahdzir-sesama-ahlus-sunnah.html#more 

Adab puasa dalam sunnah


Abu Hamzah Ibnul Qomari Lc. MAg
Wajib bagi setiap oring yang berpuasa menjaga adab-adab berikut:
1. Menjaga makan sahur dan mengakhirkannya, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
« تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً »
“Bersahurlah, karena sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan.”(Bukhari 1823; Muslim1095)
« عَلَيْكُمْ بِغَدَاءِ السَّحُوْرِ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَدَاءُ الْمُبَارَكُ »
”Kamu harus makan sahur karena ia adalah makanan yang berkah” (Nasai 2164)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan makan sahur sebagai pembeda antara Orang Islam dan ahli kitab:
« إِنَّ فَصْلَ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَاِم أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ »
“Sesungguhnya  pembeda antara puasa kita dan puasa ahli kitab  adalah makan sahur” (Muslim, 1096)
Dan alangkah bagusnya jikalau seorang muslim di dalam sahurnya makan kurma, karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ »
“Sebaik-baik sahur  orang mukmin adalah kurma” (Abu Daud, 2345)
Jika tidak memungkinkan memakan kurma maka  hendaklah makan makanan yang ada  agar tetap mendapat keberkahan sahur:
« السَّحُوْرُ أَكْلَةُ بَرَكَةٍ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ »
“Sahur itu adalah makanan berkah, maka janganlah kamu meninggalkannya meskipun hanya sekedar meneguk air dengan satu tegukan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat pada orang-orang yang sahur.”(Ahmad 11101, 11414)
Dan adalah Para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu mengakhirkan makan sahur sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi (4/238) dari Amr ibn Mimun, ia berkata: “Para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling akhir sahurnya.”
Bahkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri juga demikian sebagaiman laporan Zaid ibn Tsabit Radhiallahu ‘Anhu: Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian kami bangkit menuju shalat (subuh). Saya bertanya: “Berapa jarak antara keduanya?” Dia menjawab: “Kira-kira seukuran membaca 50 ayat.” (Bukhari 1921; Muslim 1097)
2. Memperbanyak amal kebajikan:
Seperti menolong orang yang membutuhkan, bersedekah ada fakir miskin, menyamaikan kebaikan apapun kepada orang yang mungkin kita hubungi. Amal-amal ini meskipun diperintah diluar puasa tetapi di bulan Ramadhan semakin dituntut.
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  manusia yang paling dermawan dengan kebaikan, dan paling dermawan adalah dalam bulan Ramadhan saat beliau menemui Jibril ‘Alaihi Sallam. Jibril menemuinya pada setiap malam di bulan Ramadhan hingga Ramadhan usai, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyetorkan bacaan al-Qur’an kepadanya. Apabila beliau ditemui oleh Jibril maka beliau adalah orang yang lebih  pemurah dengan kebaikan dari pada angin yang diutus (dengan membawa rahmat)” (HR. Bukhari, 1902)
Ahmad (2042) menambahkan: “Beliau tidak diminta sesuatu melainkan pasti memberikannya”
Dalam hadits Jabir Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Tidak pernah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diminta sesuatu lalu berkata: Tidak.”
Sebagaian ahli ilmu berkata: “Yang dimaksud dengan angin diatas adalah angin pembawa rahmat yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menurunkan air hujan yang menjadi sebab  hidupnya tanah-tanah yang tandus  dan yang lainnya yang berarti kebaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  merambah semua orang baik yang papa maupun yang kaya, lebih banyak dari pada  rahmat yang muncul dari angin
3. Bersungguh-sungguh dalam berbagai macam ibadah:
Ibnul Qayyim dalam Zadul ma’ad (2/32) mengatakan: “Diantara petunjuknya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan adalah memperbanyak ibadah….. Beliau menjadi  paling pemurah pada  bulan Ramadhan; beliau memperbanyak sedekah, membaca al-Qur’an, shalat, dzikir, dan I’tikaf. Beliau mengkhususkan  Ramadhan dengan ibadah apa yang tidak beliau khususkan pada bulan-bulan lain.”
Dan Ijtihad beliau pada sepuluh terakhir melebihi  ijtihadnya pada malam-malam lain. Pada malam-malam akhir itu beliau membangunkan istri-istrinya, mengikat pinggang dan bersemangat. (HR. Bukhari, 2024; Muslim, 1174, dari Aisyah)
4. Mempergunakan siwak
Siwak adalah sunnah yang dipertahankan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dianjurkan untuk umatnya. Beliau bersiwak saat bangun tidur, ketika memasuki rumah, ketika wudhu, dan ketika mau shalat. Beliau bersabda: “Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku tentu aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap shalat (Bukhari, 887; Muslim, 252) Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah: “Pada setiap wudhu”, dalam riwayat Ibnu Hibban: “Ketika wudlu pada tiap-tiap shalat”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« السِّوَاكُ  مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ »
“Siwak itu membersihkan mulut dan membuat ridha Allah. (Nasa’i. 1/10 no. 5; Ahmad,7 ,62)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« طَيِّبُوْا أَفْوَاهَكُمْ بِالسِّوَاكِ فَإِنَّهَا طُرُقُ الْقُرْآنِ »
“Bersihkanlah mulutmu dengan siwak karena ia adalah jalannya bacaan al-Qur’an.” (Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 2119; al-Bazzar, dengan sanad la ba’sa bihi, hadis hasan)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba jika ia bersiwak kemudian shalat, maka malaikat berdiri di belakangnya mendengarkan bacaannya dan mendekat, setiap kali mendengar satu ayat hingga ia meletakkan mulutnya pada mulutnya, maka tidak ada alqur’an yang keluar dari mulutnya melainkan  masuk ke dalam rongga malaikat, maka bersihkanlah mulutmu karena al-Qur’an.” (HR. al-Bazzar, dengan sanad bagus, dihasankan oleh syekh Zakaria al-Bakistani)
Nabi bersabda:
« رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ أَفْضَل مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِغَيْرِ سِوَاكٍ »
“Dua rakaat dengan siwak lebih baik dari pada 70 rakaat tanpa siwak.” ( Hasan Lighairihi .HR. Al-Bazzar dan Baihaqi dengan sanad bagus dari Aisyah; al-Durrul Mantsur 1/277))
Dalam lafadz lain: “Keutamaan shalat dengan siwak atas shalat tanpa siwak adalah 70 klali lipat.” (HR. Ahmad, abu ya’la, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim, ia berkata: Shahih sesuai dengan syarat Muslim. Hadis Hasan)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri mengatakan: “Jikalau saya shalat dengan siwak  maka itu lebih akau sukai dari pada saya shalat sebanyak 70 rakaat rakaat tanpa siwak.” (Abu Nuaim dengan sanad hasan)
Oleh karena seyogjanya setia muslim melestarikan sunnah siwak ini kapan sana dimana saja, apakah usa atau tidak, apakah siwaknya basah atau kering, di awal hari atau di sore hari.
Pernah Abdurrahman ibn Ghanm bertanya kepada Mu’adz ibn Jabal:  “Apakah saya bersiwak ketika saya berpuasa?” Dia menjawab: “Ya.” Dia bertanya lagi: “Pada waktu kapan di siang hari?” Dia menjawab: “Kapan saja, kalau kamu mau di pagi hari atau di sore hari.” Dia balik bertanya: “Orang-orang tidak suka di sore hari.” Muadz bertanya: “Mengapa?” Dia menjelaskan: “Mereka mengatakan: Karena Nabi bersabda:
« لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ »
“Bau mulut orang yang puasa itu lebih wangi bagi Allah dari pada minyak kesturi.” Muadz berkata: “Subhanallah! Sungguh  Nabi telah memerintah kepada mereka saat memerintah, sedangkan Nabi mengetahui, bahwa mulut orang yang puasa itu tetap bau meskipun telah bersiwak. Tidaklah beliau memerintahkan mereka agar membusukkan bau mulut mereka dengan sengaja. Sungguh  hal itu tidak mengandung kebaikan sama sekali, bahkan di dalamnya ada keburukan, kecuali orang yang diuji dengan balak dan tidak dapat menghindar.” (Thabrani dalam al-Kabir 20/70-71/133 dengan sanad bagus seperti kata al-Hafihz dalam at-Talkhish 2/202)
5. Menjauhkan  diri dari hal-hal yang bertentangan  dengan tujuan puasa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan puasa agar orang mukmin mencapai derajat takwa, menahan diri dari makan,  minum dan jimak dengan niat murni karena Allah. Ini semua mengandung penyucian jiwa dari akhlak yang buruk dan  nafsu yang liar. (Lihat tafsir Ibnu katsir tentang al-Baqarah 183)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ: إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ »
“Bukanlah puasa itu menahan dari makan dan minum, akan tetapi puasa itu dari perbuatan sia-sia, dan  ucapan kotor; jika kamu dicaci seseorang atau dibodohi maka katakanlah: aku uasa, aku puasa (Muslim 1151)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengancam:
« مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ »
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (Bukhari 1903)
Nabi bersabda:
« رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ . وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ »
“Bisa jadi orang yang puasa itu tidak mendapatkan apa dari puasanya selain hanya rasa lapar. Dan bisa jadi orang yang Qiyamullail (tarawih) itu tidak mendaatkan datri bangunnya selain rasa kantuk.” (Ibnu Majah 1690)
6. Menyegerakan buka
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ »
“Manusia itu terus dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka.” (Bukhari 1957; Muslim 1098)
« لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ »
“Agama ini akan tetap nampak selama manusia menyegerakan buka sesungguhnya Yahudi dan Nasrani itu mengakhirkan buka.” (Abu Daud 2353)
Adapun dari pengamalan adalah sebagai berikut:
Abu Athiyah berkata: “Saya dan Masruq menghadap Aisyah Radhiallahu ‘Anha, maka Masruq berkata kepadanya: “Dua Orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  tidak bosan-bosannya melakukan kebaikan; yang satu menyegerakan Maghrib dan buka, dan satunya lagi mengakhirkan maghrib dan buka?” Maka Aisyah bertanya: “Siapa yang menyegerakan Maghrib dan Buka?” Masruq menjawab: “Abdullah -Ibnu Mas’ud-. Aisyah menjawab: “Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbuat.” (Muslim 1099)
Abdullah ibnu Abi Aufa Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau puasa. Ketika matahari telah terbenam beliau bertanya kepada sebagain kaum: “Berdiri dan siapkanlah bubur (campurlah tepung dengan air dan aduklah) untuk kita.” Dia berkata: “Ya Rasulallah seandainya anda  sudah masuk waktu malam?” Beliau bersabda: “Turun, siapkanlah bubur untuk kita.” Dia menjawab lagi: “Ya Rasulallah seandainya anda  sudah masuk waktu malam?” Beliau bersabda: “Turun, siapkanlah bubur untuk kita.” Dia berkata: “Sesungguhnya masih ada siang diatas anda (sisa cahaya kemerah-merahan  sehabis terbenamnya matahari masih nampak diufuk barat, disangka masih siang).” Beliau bersabda: “Turun, siapkanlah bubur untuk kita.” Maka ia turun dan menyiapkan bubur. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian minum dan bersabda: “Jika kamu melihat malam telah datang dari arah sini maka telah berbuka orang yang berpuasa.” (Bukhari 1955, Muslim 1101)
Berikut ini beberapa adab tentang buka:
Berbuka sebelum shalat:
Anas Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat mabghrib sama sekali sebelum beliau berbuka meski itu hanya seteguk air.” (Ibnu Hibban 890)
Berbuka dengan kurma
Anas berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbuka dengan  beberapa butir kurma basah sebelum beliau shalat. Jika tidak ada kurma basah maka kurma kering, jika tidak ada maka cukup dengan meneguk air dengan beberapa tegukan.” (Abu Daud 2356, Turmudzi 696)
Jika sudah berbuka lalu shalat berjamaah di masjid maka ia pulang menuju makan malamnya.
Berdoa saat buka:
« ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ »
“Telah hilang dahaga dan basah  seluruh urat dan tetaplah pahalanya insyaallah (Hasan, Abu Daud 2357)
Adapun doa:
بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ »
Maka syekh al-Albani mendhaifkannya, akan tetapi syekh Abdul Qadir al-Arnauth berkata: Hadis ini memiliki syawahid yang menguatkannya. Wallahu a’lam.
7. Berusaha keras untuk dapat memberi makan buka orang yang berpuasa untuk mendapatkan pahala yang sangat besar:
« مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا »
“Barang siapa memberi makan buka orang yang berpuasa maka baginya adalah pahala separti pahalanya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” (Tirmidzi 708)
8. Tidak boleh Wishal
Jumhur ulama sepakat tentang haramnya wishal, dan hal itu khusus untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah melarang wishal maka mereka berkata: “Sesungguhya engkau melakukan wishal ya Rasulallah?” Beliau jawab: “Siapa diantara kalian yang sepertiku? Aku  di malam hari diberi makan dan minum oleh Tuhanku.” (Bukhari 1965)
Adapun wishal dari sahur ke sahur berikutnya maka boleh menurut Imam Ahmad, Ishaq,  dan Ibnul Mundzir dalilnya  adalah hadis Abu Said bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« لاَ تُوَاصِلُوا فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوْاصِلْ حَتىَّ السَّحَر »
“Jangan melakukan wishal, siapa diantara kamu yamng ingin wishal maka lakukanlah wishal hingga sahur.” (Bukhari 1967)
9. Qiyam Ramadhan/ tarawih berjamaah, karena Nabi menganjurkan:
« مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
Barang siapa shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala maka diamppuni dosa-dosanya yang telah lalu(Bukhari 2008, Muslim 759)
Keutamaannya secara jamaah:
« إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »
“Jika seseorang shalat bersama imam hingga usai maka ditulis untuknya shalat semalam suntuk.” (HR. Para penulis kitab sunan)
Terutamama pada malam-malam akhir:
« مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Barang siapa shalat tarawih di malam lailatul  qadar karena iman dan mengharap pahala maka diamppuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Bukhari 2014, Muslim 760)

Malang, Selasa 5    Sya’ban 1427
29 Agustus 2006

Maraji’:
Agus Hasan Bashori, Fiqih Shiyam, Diktat IISC 1421
Samir ibn Amin az-Zuhairi, al-Ilmam bi Ahkam Wa Adab al-Shiyam, Darus Salaf, tt
Zakariya al-Bakistani, Shahih al-Matjar ar-Rabih, Darul Kharraz 1423
Abu Bakar al-Jazairi, Risalah al-Shiyam. Darut Tharafain, 1416
Abdullah al-Shalih. Kaifa Naisy  Ramadhan, Darul Wathan,1413
Dll
(Majalah Qiblati Th. II ed. 2)


Sponsor

Popular Posts

free counters

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nidaaul-haq - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger